
PENELITI dari Center of Reform on Economics (CoRE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menyebut defisit pada awal tahun ini sebagai sinyal kemunduran kinerja fiskal yang perlu diwaspadai pemerintah, terutama karena disebabkan oleh anjloknya penerimaan negara hingga 16% dibandingkan tahun sebelumnya. Itu menjadi tanda kinerka APBN yang mengalami kemunduran.
"Tentu salah satu perubahan paling terlihat dari realisasi APBN sampai dengan Maret 2025 ada pada kondisi defisit yang berbanding terbalik dibandingkan kondisi pada Maret 2024 yang masih relatif surplus," kata Yusuf saat dihubungi, Kamis (1/5).
Ia menjelaskan, pelemahan penerimaan negara baik dari sisi pajak maupun nonpajak tidak lepas dari dua tekanan utama: melambatnya ekonomi domestik dan jatuhnya harga komoditas global. Menurutnya, perlambatan ekonomi dalam negeri turut memukul sektor-sektor strategis seperti industri manufaktur yang selama ini menjadi penyumbang utama penerimaan pajak.
"Akhirnya ini memberikan efek kepada penerimaan negara, terutama yang punya kontribusi besar seperti misalnya pajak," kata Yusuf.
Namun, meskipun sisi penerimaan terpukul, belanja negara tetap mencatatkan pertumbuhan positif, baik dibandingkan tahun lalu maupun bulan sebelumnya. Hanya, Yusuf mengingatkan bahwa ada fakror penghematan dan relokasi anggaran program yang dilakukan pemerintah.
Menurutnya, program efisiensi anggaran yang tidak diimbangi dengan strategi fiskal yang jelas, justru bisa melemahkan daya dorong belanja pemerintah terhadap perekonomian nasional.
"Dengan penghematan anggaran yang dilakukan pemerintah, kami melihat ada potensi ini akan mempengaruhi perekonomian melalui belanja pemerintah yang pertumbuhannya akan lebih rendah di kuartal pertama tahun ini jika dibandingkan pencapaian di triwulan yang sama di tahun 2024," kata Yusuf.
Dia juga menilai konfigurasi fiskal saat ini berisiko memperlebar defisit anggaran dari target yang sudah ditetapkan. Oleh karena itu, ia mendorong pemerintah agar segera menyusun ulang prioritas belanja, khususnya pada pos-pos yang memberikan efek pengganda langsung ke perekonomian.
"Pemerintah tentu perlu melakukan prioritas belanja, terutama pada pos yang memang dinilai perlu dan penting, terutama dalam konteks memberikan efek pengganda ke perekonomian," kata Yusuf.
Untuk menutup potensi kekurangan penerimaan akibat defisit yang melebar, ia juga menyarankan agar pemerintah menyiapkan langkah-langkah jangka pendek. Salah satunya adalah mengoptimalkan pungutan pajak musiman pada periode tertentu.
Sementara itu, Ekonom dari Bright Institute Awalil Rizky menyebut kondisi ini sebagai kemunduran yang tidak bisa dianggap biasa. "Secara keseluruhan kinerja triwulan pertama APBN 2025 tidak baik-baik saja, bahkan buruk," kata dia dihubungi terpisah.
Pendapatan negara tercatat hanya mencapai Rp516,1 triliun atau 17,20% dari target APBN 2025 yang sebesar Rp3.005,1 triliun. Angka ini lebih rendah dari capaian pada periode yang sama di tiga tahun sebelumnya. Dibandingkan 2024, realisasi ini anjlok 16,76%. Padahal tahun lalu pun sudah mengalami penurunan.
"Realisasi itu tercatat turun sebesar 16,76% dibanding tahun lalu. Tahun 2024 pun sebenarnya telah alami penurunan, namun hanya sebesar 4,13%," jelas Awalil.
Penurunan yang paling mencolok terjadi pada penerimaan perpajakan, yang hanya mencapai Rp400,1 triliun atau 16,10% dari target. Capaian itu jauh di bawah realisasi triwulan pertama 2022 (22,56%), 2023 (24,96%), dan 2024 (20,04%). Awalil menilai penurunan ini sebagai tanda jelas bahwa kondisi ekonomi melambat dan daya beli masyarakat melemah.
"Penurunan penerimaan perpajakan merupakan indikasi daya beli masyarakat turun dan kinerja ekonomi melambat. Bisa ditambahkan pelaksanaan ‘coretax’ yang masih bermasalah," terang Awalil.
Sedangkan dari sisi belanja negara, realisasi hingga Maret mencapai Rp620,3 triliun atau 17,10% dari target Rp3.621,3 triliun. Meskipun meningkat 1,37% dari tahun lalu, Awalil mempertanyakan konsistensi kebijakan efisiensi anggaran yang sempat digaungkan pemerintah.
"Salah satu yang mengherankan adalah belum adanya keputusan dan publikasi resmi dari kebijakan efisiensi anggaran. Sampai acara sarasehan ekonomi 8 April lalu, Sri Mulyani masih mengatakan postur APBN tidak berubah," kata dia. (H-3)