
BULAN INI kita sedang memperingati Hari Kebangkitan Nasional ke-116 sekaligus Hari Pendidikan Nasional ke-66. Semangat kebangsaan yang ditumbuhkan oleh para perintis dan pendiri bangsa merupakan kekuatan kultural dan moral yang terus perlu dijaga untuk menopang kehidupan bangsa.
Dalam masyarakat yang plural seperti Indonesia, kebangsaan menjadi alat pemersatu yang ampuh menjembatani perbedaan suku, agama, bahasa, dan budaya. Namun, semangat ini tidak cukup diikrarkan, melainkan harus diwujudkan dalam tindakan nyata—terutama dalam menjamin hak dasar warga negara, salah satunya pendidikan.
UUD 1945 menegaskan komitmen negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan yang bermutu dan merata adalah instrumen utama untuk mencapai keadilan sosial, sekaligus memperkuat kohesi nasional. Di sinilah pendidikan dan kebangsaan bertemu: saling menguatkan dan tidak dapat dipisahkan.
Sayangnya, kondisi ideal itu masih jauh dari kenyataan. Data Badan Pusat Statistik (BPS, 2023) menunjukkan bahwa indeks pemerataan pendidikan antarprovinsi menunjukkan disparitas yang tinggi. Misalnya, provinsi-provinsi di Jawa dan Bali mencatat angka partisipasi sekolah menengah atas lebih 80%, sementara di Papua dan Papua Barat masih berada di bawah 60%. Ketimpangan ini tidak hanya dalam akses, tetapi juga dalam mutu: ketersediaan guru besertifikasi, sarana-prasarana, hingga koneksi internet yang sangat timpang antarwilayah.
Sistem pendidikan memang sering kali mereproduksi ketimpangan sosial melalui apa yang disebut sebagai cultural capital dan habitus (Bourdieu, 1984). Anak-anak dari kelompok marginal sering kali tertinggal bukan karena kurang cerdas, tetapi karena mereka tidak memiliki akses terhadap nilai-nilai, gaya belajar, dan dukungan sosial yang dihargai oleh sistem pendidikan yang dominan. Tanpa intervensi negara yang adil, pendidikan justru akan memperkuat eksklusi sosial dan sulit bisa membuka jalan mobilitas sosial. Di sinilah maka pentingnya negara hadir.
NILAI KEBANGSAAN
Selain menjadi alat mobilitas sosial, pendidikan juga memiliki peran strategis dalam menanamkan nilai-nilai kebangsaan, antara lain toleransi, persatuan, dan empati. Sayangnya, seperti pelajaran Pancasila atau kewarganegaraan sering kali dipahami lebih sebagai hafalan, bukan praktik. Pendidikan kebangsaan menjadi formalistik dan tidak membentuk kesadaran kritis anak didik.
Lingkungan sekolah yang ideal seharusnya menjadi tempat tumbuhnya karakter inklusif dan cinta tanah air. Namun, fenomena intoleransi di sekolah, perundungan, bahkan terkadang penyebaran paham ekstrem terjadi di sekolah. Ini menandakan bahwa pendidikan belum sepenuhnya berhasil sebagai media internalisasi nilai kebangsaan. Semoga Gerakan 7 Kebiasaan Anak Indonesia Hebat bisa menutup celah ini.
Tanpa perbaikan mendalam dalam kurikulum dan pelatihan guru, kita berisiko mencetak generasi yang terampil secara teknis tetapi miskin empati dan kesadaran sosial. Dari sinilah maka sangat penting perlunya mencegah dan mewasdai akan terjadinya ancaman integrasi bangsa.
KERJA SINERGIS
Guru adalah aktor kunci dalam proses pendidikan. Namun, masih banyak guru, terutama di daerah terpencil, yang menghadapi tantangan serius—dari rendahnya kesejahteraan hingga keterbatasan pelatihan. Menurut data BPS (2023), rasio guru besertifikat di kawasan timur Indonesia masih jauh tertinggal ketimbang kawasan barat. Ini memperkuat argumen bahwa mutu pendidikan sangat bergantung pada dukungan sistemis terhadap tenaga pendidik/guru. Kebutuhan akan guru yang berkualitas adalah suatu keniscayaan.
Selain guru, keluarga dan masyarakat juga memegang peran sentral. Peran orangtua dalam mendampingi proses belajar menjadi semakin penting, terlebih di era digital. Lingkungan yang sehat dan inklusif akan memperkuat proses belajar anak, sekaligus menanamkan nilai-nilai kebangsaan sejak dini. Di sinilah pentingnya pemberdayaan keluarga dalam bentuk semacam parent education. Perhatian peningkatan pendidikan tidak saja tertuju untuk anak didik, tetapi juga perlunya partisipasi orangtua untuk mendukungnya.
Demikian juga kolaborasi lintas sektor sangat dibutuhkan. Dunia usaha seharusnya mendukung secara sinergis pendidikan vokasi dan literasi teknologi, sementara media massa dan komunitas sipil dapat menjadi ruang pembelajaran sosial untuk mendorong semangat persatuan dan kebangsaan.
Peserta didik sebagai generasi muda bukan hanya ahli waris bangsa, melainkan juga aktor utama perubahan. Mereka perlu diberi ruang untuk mengembangkan gagasan, berpartisipasi dalam solusi, serta diberdayakan sebagai duta kebangsaan di lingkungan masing-masing.
Pendidikan yang membebaskan, seperti yang diidealkan oleh Freire (1970), harus mampu membangkitkan kesadaran generasi muda untuk bertindak demi masyarakatnya. Mereka harus berperan dalam gerakan literasi, kampanye antiperundungan, keterlibatan dalam kerja sosial dan kemanusiaan sebagai wahana pendidikan kebangsaan yang nyata dan relevan bagi generasi digital. Kita perlu membekali mereka dengan wawasan sejarah, kecakapan berpikir kritis, dan ketangguhan moral agar tidak mudah terjebak dalam narasi-narasi yang memecah belah.
MASA DEPAN
Memaknai kebangkitan nasional haruslah dengan menjaga semangat kebangsaan dan memperjuangkan pendidikan bermutu bagi semua sebagai tugas besar yang harus dikerjakan bersama untuk menjamin masa depan Indonesia.
Tanpa pendidikan yang adil dan berkualitas, semangat kebangsaan hanya menjadi slogan yang kehilangan makna dan berpotensi menjadi ancaman integrasi bangsa. Sebaliknya, semangat kebangsaan sejati hanya mungkin tumbuh jika seluruh rakyat merasa dilibatkan dan diberikan kesempatan yang sama untuk berkembang.
Negara harus hadir lebih kuat dalam menjembatani ketimpangan yang ada. Menata kurikulum yang sesuai kebutuhan, distribusi anggaran yang berpihak kepada wilayah tertinggal, peningkatan kualitas guru, dan kolaborasi multipihak harus terus digalakkan.
Masa depan Indonesia tidak hanya ditentukan oleh kekayaan sumber daya alam atau kekuatan politik, tetapi juga oleh kualitas sumber insaninya. Dan manusia Indonesia sebagai sumber insani yang unggul hanya bisa lahir dari pendidikan yang bermutu—pendidikan yang menumbuhkan rasa kebangsaan, memberdayakan yang lemah, dan membuka jalan keadilan sosial.