Ketika Kuantitas tidak Diikuti Kualitas

5 hours ago 3
Ketika Kuantitas tidak Diikuti Kualitas Suryopratomo Pemerhati Sepak Bola(MI/Seno)

PIALA Dunia Antarklub 2025 digelar dengan format baru. Kali ini ada 32 klub dari enam konfederasi, yaitu Asia, Afrika, Amerika Latin, CONCACAF, Eropa, dan Oseania, yang tampil pada kejuaraan yang digelar di Amerika Serikat itu.

Komentar pertama yang muncul, pantaskah Piala Dunia Antarklub digelar dengan format seperti itu? Pasalnya, senjangnya pembinaan sepak bola yang ada di kawasan membuat kualitas permainan sangat jauh.

Lihat pertandingan pertama antara Bayern Muenchen melawan klub asal Selandia Baru, Auckland City. Klub asal Bavaria, Jerman, itu seperti menghadapi klub yang baru belajar bermain sepak bola sehingga tidak tanggung-tanggung mereka menang dengan 10 gol tanpa balas.

Auckland City memang klub amatir. Para pemain klub itu harus mengambil cuti dari kantor masing-masing agar bisa berangkat ke Amerika Serikat. Sebaliknya Bayern Muenchen merupakan klub terkaya di Jerman, yang menjadi langganan juara baik di Bundesliga, Liga Champions Eropa, maupun Piala Dunia.

Sepak bola memang mengharapkan banyaknya gol pada setiap pertandingan yang dimainkan. Namun, gol itu bukan gol yang mudah dicetak dan hanya terjadi pada satu gawang.

Buruknya kualitas pertandingan dikhawatirkan membuat penonton semakin malas datang ke stadion. Pertandingan Chelsea melawan Los Angeles FC hanya disaksikan sekitar 22 ribu penonton, padahal kapasitas stadion mencapai 75 ribu tempat duduk. Akibatnya, stadion terasa melompong, situasi yang jarang dirasakan para pemain Eropa.

Pelatih Chelsea Enzo Maresca menyayangkan FIFA yang dianggap gagal mempromosikan Piala Dunia Antarklub. Kosongnya stadion berpengaruh pada gairah para pemain untuk tampil. Namun, sebagai profesional, Maresca menjamin anak asuhnya akan menampilkan permainan terbaik.

DIBAWA POLITIK

Kritikan kedua yang disampaikan kepada Presiden FIFA Gianni Infantino ialah membawa sepak bola ke dalam politik. Pasalnya, Gianni mengajak para pemain Juventus ke Gedung Putih untuk bertemu Presiden Donald Trump. Para pemain memang diajak masuk ke Ruang Oval, ruangan kerja Presiden AS. Trump juga ada di dalam ruangan tersebut ketika para pemain dipersilakan masuk dan berdiri di belakang pemimpin negara adidaya itu.

Namun, ternyata para pemain klub Italia tersebut tidak disapa dan diajak bicara oleh Presiden Trump. Mereka diminta berdiri dan menonton Kepala Negara AS itu memberikan keterangan pers soal perang Israel dan Iran.

“Saya datang untuk bermain bola dan berbicara tentang sepak bola. Saya datang bukan untuk mendengarkan soal perang,” kata bek Juve asal AS, Timothy Weah, kesal.

Gianni Infantino sendiri sebenarnya membawa para pemain Juve untuk menyampaikan kepada Trump bahwa Kejuaraan Piala Dunia Antarklub sudah dimulai dan sudah berjalan tiga hari. Juve yang berhadapan dengan klub asal Uni Emirat Arab, Al Ain, menang telak dengan skor 5-0.

AS, meski sudah melahirkan pemain kelas dunia, belum berhasil menjadikan masyarakatnya demam sepak bola. Dengan datang ke Ruang Oval diharapkan Presiden Trump bisa tertarik dan mau menonton Piala Dunia Antarklub. Namun, harapan Infantino tidak tercapai. Ia gagal membuat Trump mau mulai 'melirik' sepak bola. Trump tidak tertarik dan lebih asyik berbicara dengan wartawan yang memenuhi Ruang Oval untuk membahas soal potensi terjadinya Perang Dunia III.

Perang yang dimulai dengan serangan mendadak yang dilakukan tentara Israel dengan membunuh beberapa pemimpin militer Iran memancing kemarahan bangsa Iran. Pemimpin Iran Ali Khameini memerintahkan dilakukannya balasan oleh tentara Iran ke Israel.

Dalam tiga hari terakhir, ratusan ribu peluru kendali Iran ditembakkan ke Tel Aviv. Teknologi tinggi untuk mengintersep peluru kendali milik Israel tidak bisa menghentikan serangan gencar tentara Iran. Seperti halnya di Iran, korban juga mulai berjatuhan di Israel. Bahkan rumah sakit di Tel Aviv terkena sasaran serangan Iran. Kalau perang ini berlanjut, yang dirugikan ialah masyarakat sipil.

Sepak bola dan olahraga pada umumnya bisa menjadi 'obat yang menyembuhkan' bagi perang yang semakin mengkhawatirkan ini. Sebab, dasar dari olahraga ialah persaudaraan. Menang dan kalah akan silih berganti karena aturan yang berlaku diterapkan sama kepada semuanya.

PIALA DUNIA 2026

Tahun depan, pesta sepak bola empat tahunan, Piala Dunia, akan bergulir di Amerika Serikat, Kanada, Meksiko. Salah satu dari 48 negara yang sudah mendapatkan tiket ke putaran final ialah Iran yang akan mewakili Asia. Kehadiran Iran diharapkan bisa meredakan ketegangan yang sedang terjadi. Namun, syaratnya Presiden Trump tidak menghambat kehadiran Iran dan juga pendukung sepak bola asal negara itu.

Tantangan yang tidak kalah penting untuk dipecahkan ialah kualitas pertandingan. Seperti halnya Piala Dunia Antarklub yang sedang berjalan, penambahan 16 tim di Piala Dunia 2026 jika dibandingkan dengan Piala Dunia 2022 di Qatar, diharapkan tidak sampai membuat negara yang sebenarnya belum pantas tampil di ajang Piala Dunia 'dipaksa' berpartisipasi.

Sekarang ini FIFA dianggap lebih mementingkan bisnis ketimbang kualitas. Penambahan peserta, baik di Piala Dunia Antarklub maupun Piala Dunia, hanya demi menambah jumlah pertandingan sehingga menambah jumlah pendapatan, baik dari tiket penonton, sponsor, maupun siaran televisi.

Ajang Piala Dunia sekarang ini merupakan event olahraga yang paling menguntungkan. Pendapatan yang didapat FIFA dari penyelenggaraan Piala Dunia jauh di atas penyelenggaraan Olimpiade.

FIFA sebenarnya mempunyai tanggung jawab meningkatkan dan menyejajarkan kualitas sepak bola yang ada di semua konfederasi. Selama ini FIFA sudah memberikan donasi kepada setiap asosiasi yang menjadi anggota dan secara reguler menyelenggarakan coaching clinic. Namun, upaya itu belum mampu mengangkat kualitas sepak bola menjadi lebih merata. Amerika Latin dan Eropa telanjur maju dan terbang tinggi. Sepak bola sudah menjadi industri sehingga menjadi profesi bagi banyak orang. Anak-anak muda pun tergiur menggeluti profesi sebagai pemain sepak bola.

Pengelolaan sepak bola yang modern dan profesional mulai dari tingkat klub hingga tim nasional membuat kualitas sepak bola mereka terus meningkat. Pengelola asosiasi membuat kebijakan dan aturan yang menopang perkembangan, baik untuk level amatir maupun profesional, termasuk aturan kompensasinya.

Praktik baik seperti itulah yang belum dijalankan oleh banyak asosiasi. Masih banyak negara yang sekadar mengutamakan hasil ketimbang proses pembinaan. Tidak mengherankan kalau sekarang banyak negara berlomba-lomba menerapkan kebijakan naturalisasi. Tanpa proses pembinaan yang benar, maka ketika mereka tampil di ajang Piala Dunia, kualitasnya tidak sesuai dengan standar yang kita harapkan bersama.

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |