
Dalam 10 tahun terakhir, industri perjalanan berevolusi dengan sangat pesat. Kini, dengan kemajuan teknologi, seluruh proses dari pencarian hingga pemesanan bisa dilakukan dalam hitungan menit, langsung dari genggaman.
Namun, di balik kemudahan perencanaan itu, muncul tantangan baru, yakni ketidakpastian dalam perjalanan. Disrupsi seperti bencana alam, kendala operasional, hingga situasi geopolitik membuat rencana perjalanan, betapapun rapi disusun, bisa terganggu kapan saja.
Data global mencatat bahwa dua dari lima penerbangan mengalami gangguan setiap hari. Berdasarkan data TravelPerk, di 2024, sebanyak 78% wisatawan global melaporkan mengalami disrupsi perjalanan, dengan 43% mengalami penundaan lebih dari satu jam dan 27% menghadapi pembatalan.
Di Indonesia, gangguan perjalanan akibat faktor alam juga terus terjadi. Pada Februari 2025 misalnya, cuaca ekstrem di Bali dan Nusa Tenggara Barat mengganggu 11 penerbangan, mulai penundaan hingga pengalihan rute. Lalu pada Juni 2025, erupsi Gunung Lewotobi Laki-Laki di NTT menyebabkan pembatalan dan penundaan penerbangan dari dan menuju Bali dan Labuan Bajo, karena sebaran abu vulkanik yang mencapai ketinggian 10 km.
Belum lama ini, ribuan penerbangan di seluruh dunia juga terdampak akibat konflik geopolitik di Timur Tengah. Pada Juni lalu juga, platform FlightAware mencatat 15.964 penerbangan ditunda dan 928 dibatalkan dalam satu hari.
Ketidakpastian ini tidak hanya berdampak pada rekreasi, tetapi juga produktivitas. Sebanyak 85% pelaku perjalanan bisnis melaporkan penurunan produktivitas, dengan 45% tidak bisa hadir atau terlambat ke pertemuan penting, 40% menanggung biaya tambahan karena harus memesan ulang tiket dan akomodasi, serta lebih dari sepertiga harus bekerja lembur akibat keterlambatan.
Melihat dinamika ini, perusahaan layanan perjalanan seperti tiket.com menghadirkan pendekatan baru berbasis empati dan fleksibilitas. Aplikasi tersebut mencatat mayoritas permintaan perubahan perjalanan, yaitu sekitar 80% karena alasan pribadi. Penyebab utamanya meliputi alasan kesehatan, kehamilan, kedukaan, hingga kendala visa. Data ini menunjukkan bahwa kebutuhan akan fleksibilitas layanan perjalanan kini meluas, tidak hanya untuk situasi darurat, tetapi juga karena urusan pribadi wisatawan. Industri pun dituntut untuk merespons lebih cepat dan empatik terhadap kebutuhan ini.
"Di tiket.com, misi kami adalah memberikan solusi yang tidak hanya inovatif, namun juga penuh empati. Kami membangun platform yang memberikan kepercayaan, kendali, dan dukungan real time bila perjalanan tidak berjalan sesuai rencana,” kata Co-Founder & CEO, tiket.com, Dimas Surya Yaputra, dikutip dari siaran pers yang diterima, Kamis (24/7).
Fleksibilitas dalam perjalanan kini tertanam dalam infrastruktur yang mendukung setiap perjalanan dengan fitur-fitur yang dirancang khusus untuk mengurangi tekanan stress akibat perubahan dan gangguan yang tiba-tiba. Salah satu bentuk nyata pendekatan ini adalah kehadiran Flight Disruption Protection. Fitur ini memungkinkan pelanggan menerima kompensasi otomatis saat terjadi penundaan atau pembatalan, tanpa perlu proses klaim yang rumit. Konsumen akan mendapat notifikasi dan proses penyelesaian yang mudah secara digital.
Selain itu, fitur 100% Refund & Reschedule memberikan kelonggaran kepada konsumen untuk menyesuaikan rencana mereka hingga 24 jam sebelum keberangkatan. Dalam konteks tingginya pembatalan dan penjadwalan ulang karena alasan pribadi, fleksibilitas seperti ini memberikan ketenangan dan rasa aman saat menghadapi perubahan mendadak.
“Seiring meningkatnya harapan konsumen terhadap keandalan dan empati dalam layanan perjalanan, transformasi semacam ini di industri pariwisata semakin diarahkan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Platform pemesanan kini tidak lagi hanya dituntut efisien, namun juga adaptif dan tanggap terhadap situasi darurat. Karena pada akhirnya, dalam dunia yang tak bisa ditebak, fleksibilitas bukan lagi soal kenyamanan tambahan, melainkan landasan utama membangun kepercayaan,” jelas Dimas.
Perubahan dalam lanskap perjalanan ini pun mengubah perilaku konsumen. Mereka kini jadi lebih waspada terhadap informasi real time, memberi waktu jeda lebih panjang dalam transit, serta lebih selektif memilih layanan dengan opsi fleksibel. (E-3)