
KEJAKSAAN Agung (Kejagung) mengungkap peran Ketua Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Muhamad Arif Nuryanta tersangka kasus suap yang mengatur vonis ontslag atau lepas dalam perkara korupsi ekspor crude palm oil (CPO) saat menjabat sebagai Wakil Ketua PN Jakarta Pusat. Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung, Abdul Qohar menjelaskan awalnya Arif menerima uang Rp60 miliar dari Ariyanto Bakri selaku pengacara tersangka korporasi kasus tersebut.
Arif kemudian menunjuk Majelis Hakim untuk menangani perkara tersebut, yakni Djuyamto (DJU) sebagai Ketua Majelis Hakim, Ali Muhtarom (AM) sebagai Hakim AdHoc dan Agam Syarif Baharudin (ASB) sebagai Hakim Anggota.
Saat terbit surat penetapan sidang terbit, Arif memanggil Djuyamto dan Agam dan memberikan sejumlah uang. Arif meminta Djuyamto dan Agam untuk membacakan vonis lepas dalam kasus tersebut.
"Muhammad Arif nuryanto memberikan uang dollar bila di kurskan ke dalam rupiah senilai Rp4 miliar 500 juta, di mana uang tersebut diberikan sebagai uang untuk baca berkas perkara," kata Qohar saat konferensi pers di Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta, Senin (14/4).
Uang sebesar Rp4,5 miliar kemudian dibagi rata kepada Djuyamto, Ali, dan Agam. Lalu, sekitar September atau Oktober 2024, Arif kembali memberikan uang sebesar Rp18 miliar kepada Djuyamto dalam bentuk USD.
"Porsi pembagian sebagai berikut, untuk ASB menerima uang dollar dan bila disetarakan rupiah sebesar Rp4,5 miliar, kemudian DJU menerima uang dollar jika dirupiahkan sebesar atau setara Rp6 miliar, dan AM menerima uang berupa dollar Amerika jika disetarakan rupiah sebesar Rp5 miliar," jelas Qohar.
Qohar mengatakan ketiga hakim tersebut mengetahui tujuan dari pemberian uang tersebut agar perkara diputus onslag. Hal tersebut dibuktikan ketika tanggal 19 Maret 2025 perkara korporasi minyak goreng diputus ontslag oleh majelis hakim.
Diketahui, Kejagung sebelumnya menetapkan empat orang sebagai tersangka dalam kasus suap perkara vonis lepas korupsi CPO ini, yakni MAN alias Muhammad Arif Nuryanta, yang kini menjabat sebagai Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, WG yang kini merupakan panitera muda di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, serta MS dan AR berprofesi sebagai advokat.
Penyidik menemukan fakta dan alat bukti bahwa MS dan AR melakukan perbuatan pemberian suap dan atau gratifikasi kepada MAN sebanyak Rp60 miliar.
Putusan ontslag tersebut dijatuhkan pada tiga korporasi raksasa. Putusan ini berbanding jauh dari tuntutan jaksa, yakni denda dan uang pengganti kerugian negara hingga Rp17 triliun. (H-4)