Partai Demokrat Hong Kong Akan Dibubarkan, Simbol Moderasi yang Tersingkir oleh Pengetatan Beijing

2 hours ago 2
Partai Demokrat Hong Kong Akan Dibubarkan, Simbol Moderasi yang Tersingkir oleh Pengetatan Beijing Democratic Party terbesar di Hongkong, tengah bersiap membubarkan diri. (Media Sosial X)

PARTAI pro-demokrasi tertua dan terbesar di Hong Kong, Democratic Party, tengah bersiap untuk membubarkan diri. Keputusan ini diambil di tengah tekanan kuat dari pemerintah pusat Tiongkok, yang dalam beberapa tahun terakhir telah mempersempit ruang gerak oposisi politik di wilayah semi-otonom tersebut.

Selama lebih dari tiga dekade, Partai Demokrat menjadi suara utama dalam memperjuangkan hak pilih universal, perlindungan hak buruh, dan pelestarian lingkungan. Namun kini, bahkan kelompok oposisi moderat seperti mereka pun tak lagi memiliki ruang untuk bertahan. Proses pembubaran partai mulai digerakkan setelah sejumlah peringatan disampaikan pejabat Tiongkok, menurut dua anggota senior partai kepada CNN.

“Pesannya jelas: partai harus dibubarkan, atau akan ada konsekuensinya,” kata Yeung Sum, mantan ketua Partai Demokrat.

Fred Li, mantan legislator, mengungkapkan seorang pejabat Tiongkok, bahkan mengatakan partai tidak boleh bertahan hingga akhir tahun ini, ketika pemilu akan digelar.

Didirikan tiga tahun sebelum penyerahan Hong Kong dari Inggris ke Tiongkok pada 1997, Partai Demokrat dulunya merupakan wadah bagi para akademisi dan pengacara liberal. Mereka menjadi pionir dalam memperjuangkan kebebasan politik ketika topik-topik demokrasi masih bisa dibahas secara terbuka di kota itu.

Selama bertahun-tahun, mereka dikenal sebagai kelompok moderat yang bersedia berdialog dengan Beijing. Bahkan sempat menjadi kekuatan signifikan di legislatif Hong Kong, hingga gelombang protes besar-besaran pada 2019 mengubah lanskap politik secara drastis.

Setelah gelombang protes tersebut, Beijing memberlakukan serangkaian undang-undang keamanan nasional dan reformasi pemilu “hanya untuk patriot” pada 2021. Hasilnya, oposisi politik hampir tidak mungkin ikut serta dalam pemilu legislatif. Para pemimpin pro-demokrasi pun banyak yang dipenjara, diasingkan, atau dibungkam.

Ketua Partai Demokrat saat ini, Lo Kin-hei, menyatakan bahwa sekitar 90% dari 110 anggota partai telah setuju memberi mandat kepada komite khusus untuk memulai proses pembubaran. Ia berharap pemungutan suara terakhir bisa dilakukan dalam beberapa bulan ke depan.

“Kami selalu berusaha melayani rakyat Hong Kong dan berkontribusi positif untuk masyarakat,” kata Lo. “Saya harap partai-partai politik di Hong Kong tetap bisa bekerja untuk rakyat.”

Menurut para analis, langkah ini memperlihatkan bagaimana Beijing tidak lagi mentoleransi suara-suara yang berbeda, bahkan yang paling moderat sekalipun. John Burns, profesor emeritus dari Universitas Hong Kong, menyebutkan pembubaran partai mencerminkan penolakan terhadap partisipasi publik dan akuntabilitas lokal dalam pemerintahan. “Ini menandai pergeseran Hong Kong menuju otoritarianisme,” tegas Burns.

Tekanan terhadap Partai Demokrat bukan datang tiba-tiba. Setelah sempat menikmati kebebasan politik relatif pasca-1997, posisi mereka mulai goyah sejak negosiasi langsung dengan Beijing pada 2010. Banyak pendukung menilai langkah itu sebagai bentuk pengkhianatan, dan partai kehilangan simpati publik.

Kemudian, munculnya generasi baru aktivis muda selama protes 2014 semakin mendorong Partai Demokrat ke pinggiran. Saat protes besar-besaran kembali pecah pada 2019, popularitas mereka bangkit. Mereka bahkan meraih kemenangan besar dalam pemilu dewan distrik akhir tahun itu.

Partisipasi dalam aksi protes tersebut menjadi bumerang. Banyak tokoh partai ditangkap, dipenjara, atau diasingkan. Undang-undang keamanan nasional yang diberlakukan pada 2020 memperkenalkan hukuman penjara seumur hidup untuk tindakan pemisahan diri, subversi, terorisme, dan kolusi dengan kekuatan asing.

Pada 2021, aturan pemilu Hong Kong juga diubah, hanya memperbolehkan kandidat yang didukung kelompok pro-Beijing untuk maju. Tahun berikutnya, semua legislator yang terpilih adalah loyalis Beijing, dan undang-undang keamanan pun diperluas cakupannya.

Beijing dan pemerintah Hong Kong mengklaim perubahan ini membawa stabilitas dan kemakmuran. Namun pengamat menyebut kebijakan tersebut justru membungkam kebebasan sipil, termasuk kebebasan pers dan kebebasan berorganisasi.

Steve Tsang, Direktur China Institute di SOAS, London, menegaskan kebebasan berpendapat dan pembentukan partai politik kini semakin sulit, jika tidak ingin disebut nyaris mustahil.

Tahun lalu, lima mantan legislator Partai Demokrat dijatuhi hukuman penjara hingga 10 tahun karena dianggap melakukan subversi dalam pemilihan pendahuluan tahun 2020. Beberapa aktivis di luar negeri bahkan dikenai bounty sebesar HK$1 juta (sekitar Rp2,1 miliar), termasuk mantan legislator yang kini tinggal di Australia.

Sementara itu, pengadilan terhadap taipan media pro-demokrasi Jimmy Lai masih berlangsung, lebih dari empat tahun setelah ia ditahan atas tuduhan kolusi dengan pihak asing—yang hingga kini ia bantah.

Keputusan Partai Demokrat untuk membubarkan diri menyusul lebih dari 100 organisasi pro-demokrasi dan sipil yang lebih dulu dibubarkan sejak pengetatan dari Beijing. Dalam beberapa tahun terakhir, mereka mencoba bertahan sebagai organisasi sipil, namun kesulitan menggalang dana karena banyak tempat membatalkan acara mereka secara mendadak.

“Sungguh menyedihkan,” ujar Emily Lau, mantan legislator Partai Demokrat. “Kami sudah ada lebih dari 30 tahun, dan mendapat dukungan banyak warga Hong Kong.”

“Kami bukan pemberontak. Kami mau berdialog, bernegosiasi, mencari solusi bersama. Tapi sepertinya tak ada ruang lagi untuk kompromi,” imbuhnya. (CNN/Z-2)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |