
INSIDEN kecelakaan kapal yang terjadi di perairan Sanur, Denpasar, Bali, pada Rabu (4/6), mendapat sorotan tajam dari anggota Komisi VII DPR Bambang Haryo Soekartono (BHS). Dia menyesalkan lambannya respons penyelamatan yang memakan waktu lebih dari dua jam, tanpa kehadiran satu pun institusi penyelamat resmi di lokasi kejadian.
Gara-gara insiden tersebut, dia mengatakan Australia sampai mengeluarkan travel warning atau larangan bepergian karena menilai kawasan wisata pantai dan laut di Indonesia minim pengawasan. Hal ini dianggap mencederai keamanan pariwisata Indonesia.
“Beruntung seluruh penumpang selamat. Tapi ini menjadi citra buruk bagi pariwisata Indonesia di mata dunia. Tidak aman, tidak safety. Bahkan terjadi travel warning bagi turis Australia dari pemerintahnya," ujarnya dalam keterangan resmi, Rabu (11/6).
Menurut BHS, sistem manajemen keselamatan pelayaran harus segera dievaluasi secara menyeluruh. Penyelenggaraan keselamatan harus merujuk pada standar internasional seperti IMO (International Maritime Organization) dan Solas (Safety of Life at Sea), serta standar nasional seperti NCVS (Non-Convention Vessel Standard). Namun, yang lebih penting, kata dia, adalah kesiapsiagaan lembaga-lembaga penyelamat negara seperti Basarnas, Polisi perairan atau Polair, dan Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai (KPLP).
BHS mencontohkan, di negara-negara seperti Amerika Serikat, Australia, Jepang, Filipina, dan Thailand, wilayah wisata laut selalu berada dalam pengawasan coast guard atau tim penyelamat resmi. Sementara di Indonesia, penyelamatan justru kerap bergantung pada masyarakat lokal, seperti nelayan. Hal ini terlihat dari beberapa kasus sebelumnya, seperti kecelakaan KM Sinar Bangun di Danau Toba, KM Tiga Putra di Bengkulu, dan KM Raja Bintang 02 di Labuan Bajo.
“Ini menunjukkan kegagalan fungsi dari institusi seperti Polair, dan KPLP. Tugas mereka sering tumpang tindih, tapi justru tidak hadir saat dibutuhkan,” tuding BHS.
Lebih lanjut, dia menekankan permasalahan keselamatan pelayaran mencakup banyak aspek, mulai dari kelayakan kapal, kompetensi sumber daya manusia (SDM), hingga kesiapan sistem evakuasi.
Dari sisi kapal, BHS menegaskan pentingnya memenuhi standar klasifikasi seperti notasi A101T, A101P, A101L, dan A101T, yang disesuaikan dengan rute dan jarak pelayaran terhadap daratan terdekat. Tak hanya kapal, kru juga harus menjadi perhatian.
“Setiap awak kapal wajib memiliki sertifikat pelaut yang sah. Jumlah kru pun harus sesuai standar keselamatan. Hal ini perlu dievaluasi secara serius,” tambahnya.
BHS mendesak Kementerian Pariwisata untuk segera mengoordinasikan seluruh pemangku kepentingan dalam satu forum khusus guna memperkuat perlindungan keselamatan wisata bahari. Ia juga menyarankan agar dilakukan penertiban fungsi antarinstansi serta penyampaian permintaan maaf secara terbuka kepada wisatawan mancanegara, sebagai bentuk tanggung jawab moral dan upaya pemulihan kepercayaan publik.
Terakhir, Bambang menegaskan pentingnya realisasi asuransi penumpang serta investigasi menyeluruh oleh penyidik Kementerian Perhubungan dan Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT). Dia juga menyoroti kelangkaan jaket keselamatan di kapal sebagai isu krusial yang harus segera ditindaklanjuti.
“Kurangnya jaket keselamatan di kapal juga perlu dievaluasi. Apakah ini sudah memenuhi aturan atau justru masih diabaikan?” tutupnya. (E-4)