Kecam Kekerasan terhadap PRT di Batam, Komnas Perempuan: Segera Sahkan RUU PPRT

4 hours ago 2
 Segera Sahkan RUU PPRT Sejumlah aktivis yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Undang-Undang PPRT memajang poster di depan kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (17/9/2024).(ANTARA/Reno Esnir)

KOMISI Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengecam keras kekerasan yang dialami pekerja rumah tangga (PRT) berinisial I, asal Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT), oleh majikannya R dan seorang rekan kerja di Batam, Kepulauan Riau.

Korban diduga mengalami kekerasan dan eksploitasi sejak mulai bekerja pada Juni 2024. Ia dipukul berulang kali, disuruh makan kotoran hewan, minum air comberan, tidak dibayar upahnya selama satu tahun, dan diperlakukan secara tidak manusiawi.

Kronologi kasus menyebutkan kekerasan bermula dari kelalaian kecil, yaitu lupa menutup kandang anjing yang kemudian memicu kekerasan yang brutal dan berulang.

Komnas Perempuan mengapresiasi langkah kepolisian dalam menindak kasus ini. Pelaku dijerat Pasal 44 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1E dengan ancaman pidana 10 tahun penjara dan denda Rp 30 juta.

Namun, Komnas Perempuan meminta kepolisian untuk mempertimbangkan penerapan Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU PTPPO). Pasalnya, berdasarkan keterangan dari pendamping korban, Komnas Perempuan menilai adanya indikasi kuat praktik perdagangan orang.

Hal itu terlihat dari adanya 3 unsur TPPO yaitu dari proses perekrutan untuk bekerja yang tidak dipahami dan disetujui korban. Ketiga unsur itu yakni adanya penyalahgunaan kekuasaan dan pemanfaatan situasi rentan, serta tujuan eksploitasi berupa kerja paksa tanpa upah, ancaman jeratan hutang, kekerasan seksual, dan pembatasan kebebasan.

"Fakta-fakta ini menguatkan dugaan adanya tindak pidana perdagangan orang. Pelaku dapat dikenai pidana 3 hingga 15 tahun penjara dan denda antara Rp120 juta hingga Rp600 juta," ungkap Komisioner Komnas Perempuan Irwan Setiawan dalam keterangan resmi yang dikutip, Jumat (27/6).

Komnas Perempuan juga menyoroti tindakan pelaku yang menyebut korban dengan kata-kata merendahkan seperti “pelacur” dan kekerasan yang menargetkan organ reproduksi seperti payudara dan vagina. Hal itu merupakan indikasi kuat terjadinya kekerasan seksual berlapis.

Bentuk kekerasan tersebut mencakup kekerasan seksual nonfisik, fisik, hingga penyiksaan seksual, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.

“Komnas Perempuan mengingatkan bahwa selain proses hukum pada pelaku, pemenuhan hak atas keadilan dan pemulihan bagi korban harus dilakukan, tidak hanya pemulihan fisik namun juga pemulihan psikologis dan hak korban lainnya," ujar Irwan.

Komisioner Komnas Perempuan Sondang Frishka Simanjuntak menambahkan, kekerasan terhadap PRT seperti yang dialami I memperlihatkan betapa rentannya posisi pekerja rumah tangga. Hingga kini, para PRT belum memiliki perlindungan hukum memadai.

“PRT bekerja di ruang domestik yang tersembunyi dan jauh dari pengawasan publik, sehingga menjadi lahan subur terjadinya berbagai bentuk pelanggaran HAM . Ada relasi kuasa yang besar. Situasi ini harus menjadi peringatan keras bagi para pengambil kebijakan bahwa kerja rumah tangga tidak bisa terus-menerus diperlakukan sebagai urusan privat yang lepas dari tanggung jawab negara," ungkapnya.

Komnas Perempuan kembali menekankan urgensi pengesahan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) sebagai langkah penting dalam mencegah kekerasan serupa dan menutup celah hukum yang selama ini membiarkan pekerja rumah tangga berada dalam situasi rentan. Tanpa payung hukum yang jelas, hubungan antara PRT dan majikan kerap berada di luar jangkauan sistem perlindungan ketenagakerjaan, menjadikan rumah tangga sebagai ruang kerja yang tak terawasi.

RUU PPRT diharapkan menjadi dasar legal yang menjamin hak PRT atas upah layak, jam kerja yang manusiawi, perlindungan dari kekerasan, serta akses terhadap pengaduan dan pemulihan. Komnas Perempuan mendesak DPR RI dan Pemerintah untuk menunjukkan komitmen terhadap hak asasi manusia dengan segera mengesahkan RUU ini.

"Komnas Perempuan akan memantau proses penegakan hukum kasus ini dan pemenuhan hak korban," pungkas Sondang.(H-2)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |