
KEMENTERIAN Kehutanan mencatat penurunan siginfikan titik panas/hotspot sebagai indikasi terjadinya kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Berdasarkan hasil pemantauan dari Satelit Terra/Aqua (MODIS NASA), pada periode 1 Januari s.d 30 Mei 2025 tercatat 244 titik panas.
Angka tersebut mengalami penurunan dibandingkan periode yang sama pada 2024, yakni 550 titik atau turun 55,6%. Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni menyampaikan tren penurunan angka karhutla dari tahun ke tahun.
Penurunan luas karhutla dimulai sejak 2015 seluas 2,6 juta hektare, menjadi 1,6 juta hektar (2019), 1,1 juta hektare (2023), dan 24.154 hektare pada 2024 atau turun 74% dibanding tahun sebelumnya.
Menhut menyampaikan, keberhasilan pengendalian karhutla ditopang oleh tiga pilar utama. Pertama, kolaborasi dan koordinasi lintas sektor, antara pusat dan daerah, serta antar instansi seperti BMKG, BNPB, TNI, dan Polri. Kedua, penegakan hukum yang efektif dengan efek jera terhadap pelaku pembakaran hutan dan lahan.
“Ketiga, Partisipasi masyarakat, termasuk masyarakat adat, mahasiswa, LSM, dan dunia usaha yang turut serta dalam upaya pencegahan dan mitigasi,” kata Raja Juli dalam keterangan resmi, Jumat (6/6).
Selain itu, katanya, keberadaan 2.370 personel Manggala Agni yang tersebar di 34 Daerah Operasi (DAOP), termasuk 5 DAOP di Kalimantan Barat, merupakan kekuatan utama dalam upaya pemadaman dan patroli terpadu di lapangan.
Namun menhut mengimbau tren penurunan karhutla ini jangan membuat jumawa dan lemgah sehingga tidak mempersiapkan diri sebaik-baiknya dalam menghadapi ancaman berikutnya.
Berdasarkan prediksi iklim oleh BMKG, wilayah Indonesia saat ini memasuki kondisi La Nina (kemarau basah). Namun demikian, BMKG menyampaikan bahwa tetap perlu dilakukan langkah antisipasi kemungkinan terjadi karhutla.
“Khusus Provinsi Kalimantan Barat diprediksi akan memasuki musim kemarau pada bulan Juni sehingga kesiapsiagaan harus segera ditingkatkan,” pungkasnya. (H-2)