
KOORDINATOR Nasional Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Melky Nahar menilai pemerintah Indonesia menunjukkan sikap standar ganda dalam pengelolaan tambang di wilayah pulau-pulau kecil. Di tengah pencabutan sebagian izin tambang nikel Raja Ampat, Papua Barat Daya, justru PT Gag Nikel tetap diberi izin untuk terus beroperasi di Pulau Gag.
Pemerintah, melalui Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia berdalih keberlanjutan operasi PT Gag Nikel didasarkan pada pertimbangan legalitas, faktor historis, dan hasil verifikasi lapangan. Namun bagi Jatam, argumen tersebut tidak dapat dibenarkan.
“Pemerintah menerapkan standar ganda dan politik tebang pilih dalam urusan tambang di pulau kecil. Alasan yang dipakai untuk membenarkan operasi ini ngawur dan mengada-ada,” tegas Melky kepada Media Indonesia, Rabu (11/6).
Menurutnya, keberadaan tambang di Pulau Gag hanyalah satu babak dari rangkaian panjang praktik perampasan ruang hidup dan ekologi di pulau-pulau kecil Indonesia. Praktik serupa sebelumnya terjadi di Pulau Bangka dan Sangihe (Sulawesi Utara), Pulau Wawonii dan Kabaena (Sulawesi Tenggara), Pulau Bunyu (Kalimantan Utara), serta di Gebe, Gei, Pakal, dan Belemsi (Maluku Utara).
Padahal secara hukum, aktivitas pertambangan di pulau kecil telah dilarang secara tegas melalui Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 jo. UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3K). Sayangnya, pemerintah memilih untuk tidak menjadikan UU ini sebagai landasan dalam pemberian izin tambang.
“Mereka justru lebih memilih menggunakan UU Minerba, UU Cipta Kerja, dan aturan turunannya sebagai jalan pintas untuk melegalkal hal tersebut,” ujar Melky.
Dugaan Konflik Kepentingan
Melky juga menyinggung preseden hukum yang seharusnya menjadi rujukan tegas, salah satunya adalah kasus Pulau Bangka, Sulawesi Utara. Warga menggugat keberadaan PT Mikgro Metal Perdana (MMP) dan memenangkan gugatan di semua tingkat peradilan. Mulai dari PTUN hingga Mahkamah Agung. Pertimbangan utamanya Pulau Bangka adalah pulau kecil yang dilarang untuk ditambang. Izin MMP pun akhirnya dicabut pada 31 Maret 2017 oleh Menteri ESDM saat itu, Ignasius Jonan.
“Namun ini Indonesia. Di negeri ini, undang-undang bisa tidak berlaku jika yang dihadapi adalah kekuasaan dan modal besar,” kritik Melky.
Lalu mengapa PT Gag Nikel tetap dibiarkan beroperasi? Melky menuding adanya konflik kepentingan. Ia mengatakan masalah tersebut bukan semata soal hukum dan lingkungan, tetapi menyangkut kepentingan kekuasaan dan bisnis.
Untuk itu, kata Melky, Jatam menyampaikan sejumlah tuntutan tegas. Pertama, segera cabut izin operasi PT Gag Nikel di Pulau Gag. Lalu, gunakan UU PWP3K sebagai dasar kebijakan, bukan dikubur demi kepentingan tambang. Pemerintah diminta melakukan evaluasi menyeluruh terhadap seluruh izin tambang di pulau kecil.
"Juga, segera cabut izin-izin tambang ilegal dan pulihkan seluruh kerusakan lingkungan yang terjadi," pinta Melky.
Dia berpandangan pulau-pulau kecil bukan ruang kosong untuk dieksploitasi, bukan halaman belakang tempat membuang limbah industri. Pulau kecil adalah ruang hidup masyarakat pesisir, ekosistem penting bagi keberlanjutan laut, dan wajah sejati Indonesia yang harus dilindungi. (H-3)