
DEWAN Pakar Pengurus Pusat Pemuda Katolik sekaligus pengamat maritim Marcellus Hakeng Jayawibawa menyebut aktivitas tambang nikel di Raja Ampat, Papua Barat Daya, harus dihentikan total.
Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia resmi menghentikan sementara aktivitas tambang nikel PT Gag Nikel di Raja Ampat pada 5 Juni 2025. Kebijakan ini merupakan respons pemerintah terhadap meningkatnya tekanan dari masyarakat sipil, aktivis lingkungan, dan dunia akademik yang khawatir atas kerusakan ekologis di salah satu kawasan paling ikonik dan biodiversitas di dunia.
Marcellus menilai langkah Menteri ESDM tersebut sebagai titik balik dalam kebijakan pengelolaan sumber daya alam di Indonesia.
“Ini bukan semata-mata keputusan administratif, melainkan juga refleksi dari konflik mendalam antara dua kepentingan besar, yakni pembangunan ekonomi melalui hilirisasi nikel dan pelestarian lingkungan hidup. Harapan saya keputusan yang diambil tidak hanya penghentian sementara saja, tapi harus sampai penghentian total,” ujar Marcellus, melalui keterangannya, Jumat (6/6).
Marcellus menilai keputusan tersebut merupakan sinyal bahwa negara mulai menyadari urgensi perlindungan lingkungan di wilayah-wilayah dengan nilai ekologis tinggi. Menurutnya, keberadaan Raja Ampat sebagai kawasan global geopark yang diakui UNESCO tidak seharusnya dipertaruhkan oleh kegiatan pertambangan skala besar.
“Raja Ampat adalah rumah bagi 75% jenis terumbu karang dunia. Kehilangan wilayah ini akibat tambang bukan hanya kerugian bagi Papua Barat Daya, tapi kerugian global,” jelas Marcellus.
Dilarang Undang-undang
Ia menekankan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil secara eksplisit melarang eksploitasi tambang di pulau-pulau kecil seperti Gag, Kawe, dan Manuran. Namun realitanya, pembukaan tambang di kawasan tersebut tetap dilakukan. Hal ini menimbulkan pertanyaan serius soal konsistensi Indonesia terutama dalam hal penegakan hukum lingkungan.
Berdasarkan laporan Greenpeace yang dirilis baru-baru ini, lebih dari 500 hektare hutan dan vegetasi di Pulau Gag telah mengalami kerusakan akibat aktivitas pertambangan. Tidak hanya itu, sedimentasi yang mengalir ke laut telah menyebabkan kerusakan pada terumbu karang, mengganggu sistem ekologi laut yang menjadi sumber kehidupan masyarakat setempat.
“Jika ini dibiarkan, Raja Ampat bisa kehilangan status geopark-nya. Dunia akan menyalahkan kita karena gagal menjaga warisan alam,” katanya.
BUMN Harus Jadi Contoh
Di sisi lain, PT Gag Nikel yang merupakan anak usaha dari PT Antam Tbk—perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN)—mengeklaim bahwa operasional mereka telah sesuai dengan peraturan yang berlaku. Namun, Marcellus mengatakan status perusahaan sebagai BUMN tidak menjadi pembenaran untuk menoleransi pelanggaran prinsip ekologis.
“Justru karena BUMN adalah wajah negara, maka seharusnya mereka menjadi teladan dalam menjaga lingkungan, bukan pelanggar,” katanya.
Ia menambahkan bahwa penghentian ini adalah ujian terhadap komitmen pemerintah dalam membangun paradigma ekonomi yang tidak merusak tatanan ekologis. Maka dalam kerangka ini, prinsip free, prior and informed consent (FPIC) menjadi hal mendasar.
“Jangan sampai masyarakat adat hanya dijadikan objek. Mereka harus menjadi subjek utama dalam pengambilan keputusan karena merekalah yang paling terdampak,” ujarnya.
Jangan Sampai Dikucilkan
Lebih lanjut, Marcellus mendesak pemerintah untuk menjadikan kasus ini sebagai pelajaran penting dalam membangun kebijakan yang adil secara ekologis dan sosial.
“Jangan tunggu sampai dunia internasional menghukum kita dengan pencabutan status geopark atau sanksi perdagangan karena tidak menjaga lingkungan. Kita harus menjadi bangsa yang bertanggung jawab terhadap bumi dan generasi masa depan,” pungkasnya. (E-4)