
PARA peneliti yang menggunakanTeleskop Luar Angkasa James Webb (JWST), menghasilkan laporan cuaca pertama dari sebuah objek mirip eksoplanet yang mengembara. Hasilnya menunjukkan adanya area berawan, kandungan karbon, serta aurora di ketinggian tinggi.
Temuan ini, yang diterbitkan pada 3 Maret di The Astrophysical Journal Letters, juga mengungkap objek langit tersebut memiliki atmosfer yang kompleks dan berlapis.
Atmosfer Bumi terdiri dari lapisan gas, terutama nitrogen dan oksigen. Namun, atmosfer planet lain di tata surya sangat berbeda. Misalnya, atmosfer Venus jauh lebih tebal dan mengandung asam sulfat yang sangat korosif. Keanekaragaman atmosfer ini juga ditemukan pada eksoplanet di luar tata surya kita: beberapa memiliki atmosfer yang kaya akan uap air, sementara yang lain dipenuhi awan pasir yang sangat panas.
Kini, para peneliti mengarahkan JWST ke sebuah objek misterius bernama SIMP 0136+0933 untuk mempelajari lebih lanjut tentang atmosfernya. Identitas objek ini masih belum sepenuhnya jelas, kata penulis utama studi, Allison McCarthy, seorang mahasiswa pascasarjana di Departemen Astronomi Universitas Boston.
"Objek ini bukan planet dalam arti tradisional—karena tidak mengorbit bintang," kata McCarthy kepada Live Science melalui email. "Namun, massanya juga lebih kecil dari katai coklat biasa [bintang 'gagal']."
SIMP 0136+0933 memiliki durasi rotasi 2,4 jam dan berlokasi di Nebula Carina, sekitar 20 tahun cahaya dari Bumi. Karena merupakan objek bermassa planet yang paling terang di Belahan Bumi Utara dan berada jauh dari bintang yang bisa mengaburkan pengamatan, objek ini telah berhasil difoto secara langsung oleh teleskop seperti Spitzer milik NASA.
Pengamatan ini mengungkap atmosfer SIMP 0136+0933 sangat bervariasi, dengan fluktuasi di wilayah inframerah dari spektrum elektromagnetik (yang oleh manusia akan dirasakan sebagai panas). Namun, penyebab fisik dari variabilitas ini masih belum diketahui.
Untuk mengungkap fenomena tersebut, McCarthy dan timnya menggunakan spektrograf inframerah dekat JWST untuk mengukur intensitas radiasi gelombang pendek yang dipancarkan oleh SIMP 0136+0933. Mereka mengumpulkan sekitar 6.000 dataset selama hampir tiga jam pada 23 Juli 2023, mencakup seluruh objek. Kemudian, dalam tiga jam berikutnya, mereka mengulangi proses ini untuk panjang gelombang yang lebih panjang menggunakan Instrumen Inframerah Tengah dari teleskop luar angkasa tersebut.
Para peneliti kemudian membuat kurva cahaya untuk menunjukkan bagaimana kecerahan (atau intensitas) radiasi inframerah berubah seiring waktu. Kurva ini mengungkap bahwa berbagai panjang gelombang berperilaku berbeda—beberapa menjadi lebih terang, beberapa meredup, dan beberapa tetap stabil. Meski demikian, para peneliti menemukan bahwa kurva cahaya ini membentuk tiga kelompok, masing-masing dengan pola yang spesifik, meskipun sedikit bervariasi.
Kemiripan bentuk kurva cahaya ini menunjukkan ada mekanisme atmosfer yang serupa yang menyebabkannya. Untuk menentukannya, para peneliti membangun model atmosfer SIMP 0136+0933.
Dari sini, mereka menyimpulkan kelompok panjang gelombang pertama berasal dari lapisan rendah awan besi, sedangkan kelompok kedua berasal dari awan forsterit, mineral magnesium, yang berada di lapisan lebih tinggi. Lapisan awan ini kemungkinan juga memiliki pola yang tidak merata, yang dapat menyebabkan variabilitas dalam kurva cahaya.
Namun, awan saja tidak dapat menjelaskan kelompok panjang gelombang ketiga, yang tampaknya berasal dari ketinggian di atasnya. Para peneliti menduga bahwa radiasi ini berasal dari "titik panas"—kantong udara panas di atmosfer yang mungkin disebabkan oleh aurora radio. Aurora ini mirip dengan cahaya utara (aurora borealis) di Bumi, tetapi terjadi dalam rentang gelombang radio.
Meski begitu, bahkan model ini tidak dapat sepenuhnya menjelaskan semua pengamatan, seperti mengapa kurva kelompok pertama memiliki bentuk yang sangat beragam. Para peneliti berhipotesis gumpalan senyawa berbasis karbon, seperti karbon monoksida, di atmosfer mungkin bertanggung jawab, karena menyerap radiasi pada panjang gelombang tertentu di waktu tertentu.
"Walaupun mekanisme variabilitas ini telah diprediksi sebelumnya, ini adalah pertama kalinya kami mengamatinya secara langsung di atmosfer SIMP 0136," kata McCarthy.
Namun, beberapa jam pengamatan saja tidak cukup untuk memahami atmosfer objek ini dalam jangka panjang. Untuk itu, para peneliti perlu mempelajari objek ini selama beberapa hari, kemungkinan dengan Teleskop Luar Angkasa Nancy Grace Roman milik NASA, yang dijadwalkan diluncurkan pada 2027. (Live Science/Z-2)