
PULANG dari Tanah Suci, tapi hati terasa kosong? Atau justru dilanda kerinduan pada suasana khusyuk di sekitar Ka'bah, hingga muncul rasa gelisah dan sedih yang berkepanjangan? Ternyata, perasaan ini sering dialami jamaah haji dan umrah. Apakah Anda salah satunya?
Dosen sekaligus psikolog dari IPB University Nur Islamiah mengungkapkan adanya fenomena Post-Hajj Syndrome atau Post-Umrah Syndrome yang kerap dialami jamaah sepulang dari Tanah Suci. Tidak sedikit dari mereka yang merasakan kehampaan emosional setelah kembali ke rutinitas sehari-hari.
"Post-Umrah/Hajj Syndrome merupakan kondisi transisi psikologis, emosional, dan spiritual yang dialami oleh sebagian jamaah setelah menunaikan ibadah besar," jelasnya.
Ia menjelaskan, kondisi ini ditandai dengan perasaan hampa, kehilangan makna, penurunan semangat spiritual, serta kerinduan mendalam terhadap suasana sakral di Tanah Suci.
MI/HO--Dosen sekaligus psikolog dari IPB University Nur Islamiah
"Namun, perlu dipahami bahwa sindrom ini tidak termasuk gangguan kejiwaan, melainkan respons emosional yang wajar dialami setelah melalui pengalaman spiritual yang sangat intens," ungkap sosok yang akrab disapa Bu Mia ini.
Dalam ilmu psikologi, sebut dia, respons ini sejalan dengan konsep post-event letdown. Seseorang dapat saja merasa kosong atau kehilangan arah setelah menjalani pengalaman hidup yang sangat bermakna dan menyentuh jiwa.
"Aktivitas berjalan seperti biasa, tetapi hati terasa kosong. Ibadah terasa kurang menggetarkan jiwa seperti sebelumnya. Pikiran kerap terbang kembali ke suasana Makkah dan Madinah. Rindu lantunan doa, suasana sakral, dan ketenangan jiwa yang sulit ditemukan di tengah hiruk-pikuk kehidupan di dunia nyata," urainya.
Bu Mia menjelaskan, ketegangan antara harapan sosial dan realitas pribadi turut mewarnai dinamika Post-Umrah/Hajj Syndrome. Selain dinamika batin, transisi pascaibadah juga berlangsung dalam konteks sosial yang tak kalah menantang.
Di banyak komunitas muslim, gelar "Pak Haji" atau "Bu Hajjah" membawa ekspektasi masyarakat akan perilaku yang lebih religius, sabar, dan menjadi panutan moral.
Menurut Bu Mia, tekanan sosial semacam ini, meskipun tidak selalu disadari, dapat memperkuat beban emosional yang dirasakan, terutama ketika individu merasa belum mampu sepenuhnya mempertahankan idealitas spiritual yang diperoleh selama di Tanah Suci.
Sebuah studi menunjukkan bahwa sekitar 1%–1,3% jamaah haji mengalami masalah psikologis ringan, seperti kecemasan, kesedihan berlebihan, hingga sulit tidur pascaibadah.
Meskipun prevalensinya kecil, angka ini menunjukkan bahwa reaksi emosional setelah ibadah besar seperti haji atau umrah adalah hal yang nyata dan perlu diperhatikan.
"Langkah awal yang perlu dilakukan adalah menyadari bahwa perjalanan spiritual tidak selesai di Tanah Suci. Justru, tantangan sejati dimulai saat kita membawa semangat ibadah itu pulang ke kehidupan nyata," ucapnya.
Mengatasi hal ini, ia menyarankan beberapa hal yang dapat dilakukan. Salah satu cara menguatkan diri adalah membangun jembatan spiritual dengan menjaga kebiasaan baik yang biasa dilakukan di Tanah Suci meskipun dalam bentuk sederhana.
"Misalnya bagi yang lelaki merutinkan salat di masjid, yang perempuan menjaga salat tepat waktu, memperbanyak zikir pagi dan petang, membaca Al-Qur'an secara rutin, menulis jurnal syukur, serta memperkuat silaturahim dan amal sosial. Membentuk komunitas pasca-umrah atau haji juga dapat menjadi sarana saling menguatkan dan menjaga semangat rohani," ucapnya.
"Tak kalah penting, beri ruang untuk rindu. Sebab rindu bukan kelemahan, melainkan tanda cinta, bahwa hati pernah begitu dekat dengan-Nya. Biarkan rindu itu hidup, karena darinya tumbuh niat untuk kembali," tambah Bu Mia.
Namun, jika gejala emosional seperti kesedihan mendalam, gelisah, atau kehilangan semangat berlangsung lebih dari dua minggu dan dari hari ke hari semakin intens, bahkan mengganggu aktivitas harian, ia menyarankan untuk berkonsultasi dengan psikolog atau tenaga profesional. (Z-1)