
PENGAMAT ekonomi Energi dari Universitas Padjadjaran Yayan Satyakti menilai rencana kerja sama pengembangan energi nuklir antara Indonesia dan Rusia membuka peluang yang cukup besar. Bahkan, potensi kerja sama ini dinilai lebih menjanjikan dibandingkan dengan negara-negara lain seperti Amerika Serikat (AS), Jepang, Korea Selatan, maupun Prancis.
Menurut Yayan, Rusia dan Tiongkok umumnya menawarkan skema kerja sama yang menyeluruh, mulai dari pendanaan, studi kelayakan, pembangunan, hingga infrastruktur. Pendekatan ini terkesan praktis dan lengkap, namun di baliknya terdapat potensi risiko, terutama dari sisi geopolitik dan pembiayaan.
Yayan mengingatkan dalam konteks geopolitik, keterlibatan negara-negara besar seperti AS yang telah lebih dulu bekerja sama dengan Indonesia juga perlu diperhitungkan. AS disebut telah melakukan kajian kelayakan membangun small modular reactor (SMR) di Kalimantan Barat. Korea Selatan dan Jepang juga telah menjalin kerja sama sejak sekitar tahun 2015, sedangkan Prancis turut mengembangkan teknologi nuklir di Indonesia.
"Yang jadi masalah yaitu soal geopolitik. Karena AS, Jepang, Prancis yang sudah lebih dulu di sini (pengembangan teknologi nuklir). Ini harus diperhitungkan," kata Yayan kepada Media Indonesia, Jumat (20/6).
Berbeda dengan Rusia dan Tiongkok, AS Jepang, Korea Selatan, dan Prancis cenderung mendorong pengembangan teknologi nuklir berbasis indigenous technology. Artinya, teknologi dikembangkan secara bertahap oleh Indonesia sendiri, dengan pembiayaan internal, sehingga memungkinkan kemandirian dan keberlanjutan jangka panjang.
Potensi Beban Utang
Sementara itu, Yayan mengatakan Rusia dan Tiongkok lebih menawarkan skema pembiayaan menyeluruh sejak awal proyek, mulai dari tahap persiapan, studi kelayakan, pembangunan, hingga pengembangan infrastruktur. Meskipun pendekatan ini tampak memudahkan di awal, tantangan utama yang perlu diwaspadai adalah potensi beban utang yang besar. Jika tidak dikelola secara hati-hati, skema semacam ini dapat berisiko menjerumuskan Indonesia ke dalam jebakan utang (debt trap).
"Masalahnya pembiayaan itu relatif besar dan mungkin bisa jadi debt trap di masa yang akan datang," jelas Yayan.
Kerja sama dengan Tiongkok, lanjut Yayan, juga perlu dicermati karena umumnya merupakan bagian dari inisiatif besar seperti One Belt One Road (OBOR). Rusia pun diperkirakan menawarkan model yang serupa. Oleh karena itu, penting bagi Indonesia untuk mempertimbangkan sejauh mana keterlibatan asing dalam proyek nuklir akan mempengaruhi posisi geopolitiknya.
Meski demikian, dari sisi efisiensi energi, teknologi nuklir memang memiliki keunggulan dibandingkan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Namun, tantangan terbesarnya terletak pada aspek good governance. Tata kelola yang baik menjadi kunci mutlak dalam pengembangan energi nuklir, mulai dari penguatan kelembagaan, standar keselamatan, pengelolaan bahan bakar dan limbah, hingga pencegahan praktik korupsi.
Yayan menegaskan reaktor nuklir harus berada dalam kondisi zero tolerance atau nol toleransi terhadap kesalahan karena risiko kebocoran bisa menimbulkan dampak hingga ratusan tahun.
"Oleh sebab itu, sebelum melangkah lebih jauh, Indonesia harus memastikan bahwa sistem tata kelola yang kuat dan sesuai standar internasional benar-benar sudah terbentuk," pungkas Yayan. (H-3)