
DI tengah ketegangan geopolitik dan ketidakpastian rantai pasok global, Indonesia dinilai memiliki potensi besar untuk mengambil peran strategis dalam industri kendaraan listrik (EV).
Meningkatnya perang tarif antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok membuat banyak negara dan produsen global mulai mencari alternatif lokasi pasokan dan produksi yang lebih stabil dan netral.
Dengan posisi geografis yang menguntungkan, kekayaan sumber daya mineral kritis, serta sikap non-blok dalam konflik global, Indonesia semakin diperhitungkan sebagai mitra potensial dalam membangun rantai pasok EV yang aman dan berkelanjutan.
Namun, peluang ini perlu segera ditindaklanjuti dengan percepatan hilirisasi seluruh mineral strategis. Tidak hanya nikel, tetapi juga tembaga dan aluminium, guna melengkapi rantai industri baterai dan kendaraan listrik secara utuh di dalam negeri.
Langkah percepatan tersebut akan memperkuat daya tawar Indonesia di mata investor global, sekaligus memantapkan posisi Indonesia bukan hanya sebagai pemasok bahan mentah, tetapi sebagai pusat manufaktur, riset, dan distribusi komponen EV untuk kawasan Asia bahkan dunia.
Pemerintah telah memulai arah ini lewat kebijakan hilirisasi dan pembangunan kawasan industri hijau, namun konsistensi dan percepatan implementasi menjadi kunci untuk mengamankan peran strategis Indonesia di tengah perubahan peta rantai pasok global.
Wakil Ketua Komite Hilirisasi Mineral dan Batubara Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin), Djoko Widayatno, mengatakan bahwa kekayaan mineral Indonesia seperti nikel dapat menjadi senjata utama ditengah kondisi geopolitik global.
"Nikel Indonesia bisa menjadi senjata strategis dalam geopolitik energi bersih global," ujar Djoko kepada awak media, dikutip Kamis (26/5).
Djoko mengatakan upaya tersebut didukung dengan masuknya beberapa perusahaan global yang melakukan investasi dalam pengembangan industri nikel dan turunannya di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir.
"Indonesia bisa membuka peluang kerjasama dengan berbagai mitra strategis: AS, Tiongkok, Korea Selatan, Jepang, Eropa. Sebagai contoh Indonesia menjalin kerjasama dengan Tesla, BYD, LG Energy Solution, hingga CATL," ujarnya.
Dia melanjutkan, dengan adanya investasi tersebut maka pemerintah harus mendorong ekspor produk berbahan baku nikel dengan nilai tambah lebih tinggi atau bukan mentah seperti ore nikel.
Lanjutnya, jika hal tersebut dapat dilaksanakan, Indonesia bisa memperkuat fondasi untuk menjadi salah satu bagian penting bagi rantai pasok energi bersih di dunia.
"Posisi Indonesia sebagai bagian penting dari global green supply chain," pungkasnya. (Z-1)