
ECONOMIST Intelligence Unit (EIU) kembali merilis Indeks Demokrasi seperti tahun-tahun sebelumnya sejak 2006. Dalam rilis teranyar, EIU mencatat skor Indeks Demokrasi 2024 Indonesia sebesar 6,44. Pada Indeks Demokrasi 2023 yang dirilis tahun lalu, Indonesia memperoleh skor 6,53.
Penurunan skor itu sejalan dengan penurunan peringkat Indonesia. Jika tahun lalu berada di peringkat 56, tahun ini Indonesia menempati posisi 59 dari 167 negara alias turun tiga peringkat. Dengan skor dan peringkat tersebut, EIU masih mengelompokkan Indonesia sebagai negara flawed democracy atau demokrasi cacat.
Seperti tahun lalu, EIU menggunakan lima indikator untuk menyusun Indeks Demokrasi 2024. Indikator dengan skor tertinggi yang diperoleh Indonesia adalah proses pemilu dan pluralisme Indonesia, yaitu 7,92. Adapun indikator lainnya adalah fungsi pemerintahan (6,79), partisipasi politik (7,22), kebebasan sipil (5,00), dan budaya politik (5,29).
Dari kelimanya tersebut, indikator yang mengalami penurunan tajam dari tahun lalu adalah fungsi pemerintahan yang sebelumnya meraih poin 7,86. Nilai kebebasan sipil Indonesia pada indeks tahun ini juga turun dibanding tahun lalu, yakni 5,29.
Sementara, nilai proses pemilu dan pluralisme serta partisipasi politik tidak mengalami perubahan. Adapun budaya politik Indonesia mengalami peningkatan nilai dari tahun sebelumnya yang hanya 4,38.
EIU merilis Indeks Demokrasi 2024 dengan tajuk What's Wrong with Representative Democracy? atau Apa yang Salah dengan Demokrasi Perwakilan? Lewat rilis teranyar, EIU menyoroti kemenangan Prabowo Subianto lewat Pilpres 2024 yang disokong oleh presiden sebelumnya, Joko Widodo.
"Aliansi Tuan Prabowo dengan pendahulunya telah meningkatkan ketakutan mengenai pemusatan kekuasaan serta kurangnya pengawasaan dan keseimbangan," demikian bunyi laporan EIU.
EIU juga menggarisbawahi langkah Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Jokowi mendampingi Prabowo sebagai wakil presiden, lewat putusan Mahkamah Konstitusi yang kontroversial. Bagi EIU, perubahan dalam putusan MK telah merusak independensi peradilan. (H-3)