
TAK sedikit umat muslim yang masih kebingungan dan bertanya-tanya tentang bagaimana hukum berkurban bagi yang mampu. Apakah hukumnya kemudian menjadi wajib atau tetap sunah?
Di antara para ulama mazhab sendiri, terdapat perbedaan pendapat tentang hukum berkurban. Mayoritas ulama dari kalangan Malikiyah, Syafiiyah, dan Hanabilah, hukum berkurban ialah sunah. Namun, Abu Hanifah berpendapat bahwa hukum berkurban bagi yang mampu adalah wajib. Lantas, mana hukum berkurban yang benar?
Kurban berasal dari kata qorroba-yuqorribu-qurbaanan yang bermakna mendekatkan diri. Maksudnya ialah mendekatkan diri kepada Allah Swt sebagai bentuk rasa syukur dan ketaatan. Hal ini juga dijelaskan dalam Al-Qur'an, "Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah." (QS Al-Kautsar: 1-2).
Melalui ayat di atas, Allah memerintahkan manusia untuk melaksanakan salat dan kurban sebagai bentuk mensyukuri nikmat Allah. Dengan berkurban, kita dapat berbagi kebahagiaan lebih banyak. Sebab, daging kurban tidak dinikmati sendiri, melainkan dinikmati oleh seluruh umat muslim.
Namun, untuk dapat menunaikan ibadah kurban tidaklah mudah apalagi murah. Seorang muslim perlu mengeluarkan sejumlah dana untuk membeli hewan kurban. Pelaksanaannya pun membutuhkan banyak dana dan sumber daya manusia. Maka, tak heran apabila disebutkan bahwa ibadah ini dianjurkan bagi mereka yang mampu secara materi.
Pandangan berbagai ulama
Menurut para ulama, hukum berkurban adalah sunah muakad, yaitu ibadah yang sangat dianjurkan pada seorang muslim mampu secara finansial. Namun, bagaimana seseorang dapat dikatakan mampu?
1. Hukum berkurban Mazhab Maliki.
Ulama Mazhab Maliki mengatakan bahwa seseorang dapat dikatakan mampu apabila memiliki harta kekayaan sebesar 30 dinar. Bila dikonversikan ke rupiah, nominal satu dinar setara dengan dua juta rupiah.
Jadi, apabila seseorang memiliki total kekayaan Rp60 juta, ia sangat dianjurkan untuk menunaikan ibadah kurban.
2. Hukum berkurban Mazhab Syafii.
Berbeda dengan Mazhab Maliki, Mazhab Syafii mengukur bahwa seseorang dapat dikatakan mampu apabila memiliki uang yang cukup untuk membeli hewan kurban. Dengan catatan, orang tersebut mampu memenuhi kewajiban untuk menafkahi keluarga beserta orang yang ditanggungnya selama hari-hari penyembelihan, yakni pada tanggal 10 sampai 12 Zulhijah.
Apabila seseorang memiliki uang senilai hewan kurban, tetapi keluarganya sendiri belum dinafkahi, tidak dianjurkan baginya untuk berkurban. Lebih baik memprioritaskan nafkah untuk keluarganya lebih dulu.
3. Hukum berkurban Mazhab Hambali.
Menurut Mazhab Hambali, seorang muslim dianjurkan berkurban apabila dapat mengusahakan membeli hewan ternak dengan menggunakan uang sendiri ataupun berutang. Mazhab Hambali membolehkan seorang muslim berutang terlebih dahulu untuk membeli hewan kurban.
4. Hukum berkurban Mazhab Hanafi.
Abu Hanifah berpendapat bahwa hukum berkurban menjadi wajib bagi yang mampu. Menurut Mazhab Hanafi, seseorang yang dikatakan mampu adalah mereka yang memiliki harta yang senilai dengan nisab zakat mal, yaitu 200 dirham. Telah melebihi kebutuhan pokok dan pihak yang wajib ditanggungnya.
Pendapat Abu Hanifah ini berdasarkan hadis, "Barangsiapa yang memiliki kemampuan tetapi tidak berkurban, jangan sekali-kali mendekat ke tempat salat kami." (HR Ahmad dan Ibnu Majah).
Namun, Syekh Wahbah al-Zuhaili dalam al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, pada juz 3 halaman 597 mengatakan, "Para pakar hadis melemahkan hadis-hadisnya Hanafiyyah atau diarahkan kepada pengukuhan atas kesunahan berkurban seperti masalah mandi Jumat dalam hadis Nabi; mandi Jumat wajib atas setiap orang baligh. Kesimpulan ini ditunjukkan oleh sebuah atsar bahwa Abu Bakar dan Umar tidak berkurban karena khawatir manusia meyakininya sebagai hal yang wajib, sementara hukumnya tidak ada kewajiban."
Kurban era Nabi dan Sahabat
Dalam keadaan berada atau sedang mengalami kekurangan, Rasulullah selalu berkurban setiap tahun. Walau memiliki gaya hidup sederhana, Nabi Muhammad tidak absen berkurban. Baginya, kurban adalah ibadah yang diupayakan setiap tahun, bukan ibadah yang dilakukan sekali seumur hidup.
Hadis Ibnu Abbas, beliau mendengar Nabi bersabda, "Tiga hal yang wajib bagiku, sunah bagi kalian, yaitu salat witir, kurban, dan salat Dhuha." (HR Ahmad dan al-Hakim).
Dalam riwayat Imam al-Tirmidzi disebutkan bahwa Nabi bersabda, "Aku diperintahkan berkurban dan hal tersebut sunah bagi kalian." (HR al-Tirmidzi).
Rasulullah mewajibkan dirinya untuk berkurban. Namun hukum berkurban bagi yang mampu tidak wajib, melainkan sunah. Abu Bakar dan Umar bin Khattab yang merupakan golongan mampu tidak selalu berkurban setiap tahun. Hal ini menunjukkan bahwa kurban bagi umat muslim tidak wajib, tetapi sunah muakad atau ibadah yang sangat dianjurkan.
Kurban memiliki sejarah yang cukup mengharukan. Ketika Nabi Ibrahim yang telah menanti puluhan tahun untuk memiliki seorang anak, diuji oleh Allah untuk mengorbankan anaknya semata wayang yaitu Nabi Ismail. Bila hal tersebut terjadi pada diri kita, belum tentu kita bisa menghadapinya.
Allah menguji ketaatan Nabi Ibrahim dan Nabi Ibrahim didukung oleh anaknya untuk menjalankan perintah Allah. Kecintaan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail kepada Allah melebihi kecintaan terhadap diri mereka sendiri. Pengorbanan tersebut Allah tebus dengan seekor domba dan Nabi Ismail tetap hidup hingga akhir hayat.
Namun dalam distribusi daging kurban, ada pihak yang tidak memperoleh daging, terutama kaum fakir dan miskin. Sering kali pembagian daging kurban hanya berputar di satu wilayah yang sama, tidak merata hingga daerah pelosok. Oleh sebab itu, banyak lembaga, seperti Dompet Dhuafa, yang mengajak umat Islam untuk menebarkan hewan kurban hingga ke pelosok negeri. (I-2)