Haji 2025, Sejumlah Tantangan, dan Peluang

1 day ago 6
MI/Seno MI/Seno(Dok. Pribadi)

SETIAP tahun, musim haji menyisakan banyak cerita: kisah spiritual penuh haru, derai air mata kebahagiaan, juga tak jarang ada keluh kesah karena sakit atau ada masalah lain, di samping ada juga yang galau karena didera rindu tak tertahankan.

Tahun ini, dinamika penyelenggaraan ibadah haji banyak menjadi sorotan. Meskipun pemerintah dan segenap pemangku kepentingan telah berupaya maksimal, ditambah kehadiran para petugas haji yang bekerja tak kenal lelah, toh masih ditemukan sejumlah tantangan yang perlu dilihat secara jernih dan saksama.

Artikel ini akan mengulas dua hal: pertama, mengidentifikasi tantangan-tantangan yang muncul di lapangan dalam penyelenggaraan haji tahun ini. Kedua, melihat peluang-peluang apa saja yang bisa dijadikan jawaban atas semua tantangan yang dihadapi.

IDENTIFIKASI TANTANGAN

Tantangan yang dihadapi dalam penyelenggaraan haji sesungguhnya bukan hal baru. Setiap tahun selalu ada beragam tantangan. Namun, tahun ini, ada beberapa faktor yang membuat tantangan hadir jauh lebih kompleks dari biasanya. Pertama, soal ketatnya peraturan memasuki Tanah Haram.

Sejak satu bulan menjelang musim haji, 13 April 2025, pemerintah Arab Saudi sudah menyampaikan notifikasi perihal menutup pelayanan semua bentuk visa ziarah (selain visa haji) untuk beberapa negara, termasuk Indonesia. Tujuan mereka mencegah kemungkinan hadirnya 'haji ilegal' yang setiap tahun ditengarai jumlahnya bisa menyentuh angka yang sama dengan jemaah haji legal.

Kehadiran jemaah haji ilegal membuat dua kota suci: Mekah dan Madinah mengalami kepadatan atau bahkan kesemrawutan luar biasa sehingga mempersulit gerak ibadah. Apalagi saat puncak pelaksanaan haji di Arafah, Muzdalifah, dan Mina (Armuzna) yang space-nya sangat terbatas.

Antara ketersediaan tempat dengan jumlah jemaah yang tidak seimbang, membuat pelaksanaan ibadah menjadi tidak maksimal, kekhusukan ibadah terganggu kepadatan dan kebisingan. Pengetatan peraturan diharapkan, setidaknya, bisa mengatasi masalah itu meskipun faktanya, karena jumlah jemaah yang luar biasa banyak, kepadatan tetap merupakan keniscayaan.

Namun, pengetatan peraturan juga berimplikasi pada ketersendatan gerak perjalanan (pendorongan) jemaah dari Madinah ke Mekah (untuk embarkasi gelombang I), atau dari Jeddah ke Mekah untuk jemaah gelombang II. Itu disebabkan di setiap posko pemeriksaan (check point), setiap penumpang kendaraan, termasuk para jemaah yang ada di dalam bus, diperiksa satu per satu, tidak hanya dengan sampel maksimal lima orang seperti pada musim haji tahun-tahun sebelumnya. Karena itu, perjalanan jemaah membutuhkan waktu yang lebih lama.

Lamanya perjalanan karena ketatnya pemeriksaan itu berimplikasi pada ketidakteraturan jadwal kedatangan jemaah di Mekah, rata-rata mengalami keterlambatan minimal 2 jam, bahkan ada yang sampai 4 jam. Sebagai akibatnya, banyak jemaah yang kelelahan di jalan yang kemudian bertemu dengan para petugas yang juga kelelahan menunggu. Karena itu, muncullah dinamika yang menimbulkan kekurangnyamanan baik secara fisik maupun psikis.

Kedua, perubahan sistem layanan dari syarikah tunggal menjadi delapan syarikah. Syarikah ialah mitra resmi pemerintah Arab Saudi yang bertugas memberikan layanan kepada jemaah haji, termasuk akomodasi, konsumsi, transportasi, dan pergerakan selama di Tanah Suci, terutama di fase puncak ibadah di Armuzna. Delapan syarikah yang dimaksud ialah Al Bait Guests, Rakeen Mashariq, Sana Mashariq, Rehlat & Manafea, Al Rifadah, Rawaf Mina, MCDC, dan Rifad.

Penambahan jumlah syarikah alih-alih dapat meningkatkan kualitas pelayanan, justru menimbulkan sejumlah tantangan dan dinamika baru di lapangan. Sebagai contoh dalam perjalanan dari Madinah ke Mekah atau dari Jeddah ke Mekah yang menjadi salah satu fase dalam ibadah haji, para jemaah bisa mengambil miqat dari Bandara King Abdul Azis Jeddah, atau dari Bir Ali bagi yang dari Madinah, mereka dibawa dengan bus-bus antarkota.

Idealnya, dalam satu bus terdiri dari satu rombongan yang dipimpin seorang karom (kepala rombongan). Jumlah rombongan sudah disesuaikan dengan kapasitas tempat duduk yang ada dalam bus. Antara jemaah dan properti yang dibawa mereka (koper besar dan kecil) pun berada dalam satu bus (di bus yang sama).

Namun, keberadaan banyak syarikah, apalagi dalam satu syarikah terdiri dari beberapa maktab, membuat para jemaah yang ada dalam bus bisa ditangani lebih dari satu syarikah dan beberapa maktab. Padahal, setiap syarikah dan maktab menyediakan akomodasi (penginapan/hotel) yang berbeda.

Akibatnya, jemaah dalam satu bus bisa mendapat alokasi penginapan/hotel berbeda satu sama lain. Satu rombongan jemaah bisa terpisah, bahkan pasangan suami-istri atau manula dengan pendamping mereka juga bisa terpisah. Karena itu, jangan heran jika ada bus yang harus berkeliling dari hotel ke hotel di sektor-sektor yang ada di Mekah sesuai dengan alokasi hotel dari setiap jemaah yang ada di dalam bus.

Sektor ialah pembagian wilayah akomodasi. Akomodasi di Mekah dibagi dalam sepuluh sektor yang masing-masing menangani belasan atau bahkan puluhan hotel. Sektor satu (Sysyah) dengan 30 hotel; sektor dua (Sysyah) dengan 22 hotel; sektor tiga (Sysyah Raudhah) dengan 25 hotel; sektor empat (Sysyah Raudhah) dengan 27 hotel. Lalu, sektor lima (Sysyah Raudhah) dengan 16 hotel; sektor enam (Jarwal) dengan 14 hotel; sektor tujuh (Jarwal) dengan 18 hotel; sektor delapan (Misfalah) dengan 18 hotel. Sektor sembilan (Misfalah) dengan 14 hotel; serta sektor sepuluh (Misfalah) dengan 22 hotel.

Di dalam proses perpindahan jemaah itulah, banyak peristiwa terjadi tanpa diduga, seperti ketegangan antara sopir bus dan jemaah yang merasa lelah karena dibawa berputar-putar. Juga, antara jemaah dan syarikah atau maktab yang menangani karena dianggap memisahkan rombongan, atau bahkan memisahkan pasangan suami-istri, orangtua-anak, atau manula dan pendamping mereka.

Ketiga, tidak sedikit jemaah, terutama jemaah mandiri, atau jemaah KBIH/kelompok bimbingan ibadah haji yang terpisah dari rombongan, yang kurang memahami reute perjalanan haji, urutan ibadah, dan ketentuan-ketentuan fikih yang berlaku. Akibatnya, masih ada yang kebingungan atau bahkan tersesat ketika melaksanakan rangkaian ibadah, terutama saat berada di Masjidil Haram. Padahal, di sekitar Masjidil Haram sudah banyak meeting point yang bisa menjadi penanda arah, seperti WC-3 yang berada di depan Zamzam Tower, dan tiga terminal bus salawat yang digunakan pada tahun ini, yakni Syib Amir, Ajyad/Jiad, dan Jabal Kabah.

Keempat, dalam banyak kasus, antara petugas kloter, KBIH, dan jemaah tidak terjalin komunikasi yang lancar. Bahkan, perbedaan bahasa dan minimnya akses teknologi menambah hambatan komunikasi. Penyebabnya, terutama karena perbedaan syarikah/maktab yang memisahkan alokasi akomodasi dan logistik antarjemaah. Jemaah dalam satu kloter, misalnya, anggotanya bisa tersebar ke beberapa hotel di beragam sektor yang jaraknya bisa beberapa kilometer.

Kelima, tantangan dalam hal kesehatan dan evakuasi. Suhu panas ekstrem, ditambah kelelahan fisik jemaah, kerap menyebabkan jatuhnya korban sakit atau bahkan meninggal dunia. Ketatnya prosedur penanganan pasien yang sakit, atau yang meninggal dunia, bisa menghambat percepatan penanganan. Apalagi, jemaah yang meninggal harus ditangani aparat keamanan terlebih dahulu sebelum ditangani petugas dari layanan kesehatan.

Keenam, perihal jemaah haji nonkuota yang lebih populer dengan furoda hampir selalu menimbulkan masalah karena pemerintah Indonesia sendiri sepertinya tidak tahu pasti berapa jumlahnya. Penerbitan visa mujamalah untuk jemaah haji nonkuota itu sepenuhnya kewenangan pemerintah Arab Saudi yang teknisnya melalui PIHK (penyelenggara ibadah haji khusus).

Seharusnya, PIHK melaporkan kepada pemerintah berapa jumlah visa yang telah dikeluarkan. Namun, karena prosesnya yang tak menentu, pihak PIHK pun kesulitan melaporkan berapa jumlah visa yang telah diterbitkan. Karena itu, ketika banyak jemaah furoda gagal berangkat karena tidak mendapatkan visa, pasti akan timbul pertanyaan, siapa yang bertanggung jawab, PIHK atau pemerintah?

SEJUMLAH PELUANG

Upaya mengatasi beberapa tantangan sebagaimana dipaparkan di atas tentu tidak bisa dilakukan secara parsial. Diperlukan pendekatan sistemis, kolaboratif, dan berbasis teknologi. Berikut beberapa peluang yang dapat diambil.

Pertama, adanya peluang melakukan mitigasi yang tepat dan terukur dalam mengantisipasi setiap aturan yang ada, apalagi untuk aturan-aturan baru yang belum ada presedennya. Dengan demikian, bisa dicegah lebih dini kemungkinan munculnya dampak negatif yang tidak diinginkan.

Kedua, ada peluang bagi pemerintah, melalui Kementerian Agama dan Badan Penyelenggara Haji (BPH) untuk melakukan penataan ulang dengan para syarikah di Arab Saudi agar dalam menangani jemaah didasarkan pada kloter dan rombongan. Misalnya kloter harus ditangani satu syarikah dan satu rombongan ditangani satu maktab. Dengan begitu, keterpisahan rombongan, atau bahkan keterpisahan antara suami dan istri, orang tua-anak, atau manula dan pendamping mereka dalam penyediaan akomodasi dan konsumsi tidak perlu terjadi.

Ketiga, manasik haji tampaknya tidak cukup dilaksanakan hanya beberapa bulan menjelang keberangkatan. Idealnya, edukasi manasik menjadi bagian dari kurikulum pembinaan keislaman di tingkat komunitas. Materi manasik seyogianya dikembangkan dengan pendekatan visual, simulatif, dan berbasis aplikasi mobile. Penggunaan teknologi AR/VR (augmented reality/virtual reality) juga bisa menjadi terobosan untuk memudahkan jemaah memahami rute dan teknis ibadah haji.

Pemahaman tentang lokasi-lokasi penting, nama-nama, nomor dan posisi pintu Masjid Nabawi dan Masjidil Haram, termasuk posisi terminal bus salawat berikut rutenya yang terhubung dengan hotel-hotel, ada baiknya sudah menjadi bagian dari penyampaian materi manasik haji.

Keempat, setiap petugas haji, terutama petugas kloter, harus dibekali alat komunikasi khusus yang bisa beradaptasi dengan situasi dan kondisi apa pun ketika di lapangan sehingga mempermudah komunikasi dengan karom atau dengan segenap anggota kloter mereka. Penempatan petugas haji juga harus disesuaikan dengan asal daerah jemaah haji. Tujuannya para petugas memahami dengan baik bahasa daerah yang digunakan para jemaah mengingat banyak dari jemaah yang tidak bisa atau tidak lancar berbahasa Indonesia.

Kelima, perlunya jalinan komunikasi yang baik antara petugas haji Indonesia dan pihak Arab Saudi, khususnya di pelayanan kesehatan dan perlindungan jemaah (linjam), agar setiap permasalahan yang dihadapi jemaah, terutama yang berkaitan dengan kondisi fisik yang kelelahan dan yang sakit bisa segera diatasi tanpa ada hambatan prosedur.

Dalam hal penanganan kesehatan, pemerintah Indonesia juga bisa membangun sistem integrasi data kesehatan jemaah yang terhubung dengan rumah sakit setempat di Arab Saudi. Setiap jemaah seyogianya dilengkapi identitas digital yang berisi riwayat medis sehingga petugas medis bisa segera mengambil tindakan. Pelibatan dokter dari Tanah Air yang mengenal karakteristik kesehatan jemaah Indonesia sangatlah penting.

Keenam, untuk jemaah haji khusus undangan Kerajaan Arab Saudi (furoda), diperlukan kerja sama dan (yang lebih penting) komunikasi intensif antara pemerintah Indonesia dan otoritas Arab Saudi yang mengeluarkan undangan, dan dengan PIHK yang menerbitkan visa mujamalah. Harapannya agar dari awal sudah bisa diketahui dengan pasti berapa jumlah undangan dan diberikan kepada siapa saja. Apabila terdapat kendala dalam penerbitan visa, atau ada kendala-kendala lainnya, bisa diatasi secara lebih dini secara bersama-sama.

DIPLOMASI DAN KOORDINASI MULTI-PIHAK 

Mengingat penyelenggaraan haji ialah peristiwa internasional, diplomasi haji harus terus diperkuat. Koordinasi intensif dengan otoritas Arab Saudi, sesama negara pengirim jemaah, dan organisasi internasional seperti Organisasi Konferensi Islam (OKI) akan memperluas kerja sama lintas negara dalam pengelolaan haji. Isu-isu krusial seperti suhu ekstrem, pengurangan kuota, atau pengaturan waktu ibadah dapat dibahas dalam forum khusus.

Penyelenggaraan ibadah haji bukan sekadar manajemen logistik berskala besar. Ia manajemen spiritualitas, layanan kemanusiaan, dan diplomasi lintas bangsa dalam satu paket ibadah. Karena itu, penyelesaiannya pun tidak cukup administratif, tetapi harus menyentuh hati, pikiran, dan teknologi secara bersamaan.

Dengan memanfaatkan peluang kerja sama dengan berbagai pihak, pemerintah, masyarakat, otoritas Arab Saudi, dan jemaah itu sendiri, hasilnya dapat dijadikan peluang atau bahkan ladang inovasi dan perbaikan. Sejatinya, haji bukan hanya perjalanan menuju Tanah Suci, melainkan juga perjalanan kita sebagai bangsa menuju sistem pelayanan publik yang unggul, adil, dan bermartabat.

Yang tidak kalah penting, setelah musim haji selesai, dokumentasi digital harus disusun dan dibuka untuk publik. Apa yang berjalan baik, apa yang belum maksimal, dan bagaimana cara memperbaikinya. Ini penting untuk membangun kepercayaan publik serta mendorong partisipasi masyarakat dalam perbaikan sistem haji secara komprehensif.

Selain itu, rencana pembangunan atau pengadaan kampung haji seyogianya bisa segera direalisasikan untuk membangun ekosistem haji yang komprehensif, mempermudah penyediaan fasilitas akomodasi, konsumsi, dan kebutuhan-kebutuhan haji lainnya secara baik dan berkesinambungan.

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |