Gerindra Ungkap Sisi Positif dan Negatif dari Putusan MK Soal Pemisahan Pemilu

8 hours ago 5
Gerindra Ungkap Sisi Positif dan Negatif dari Putusan MK Soal Pemisahan Pemilu Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta.(MI/Devi Harahap)

KETUA DPP Partai Gerindra Heri Gunawan menyatakan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang memisahkan pelaksanaan pemilu nasional dan pemilu daerah atau pemilu lokal perlu dikaji secara mendalam. Ia mengatakan perlu kajian dengan mempertimbangkan segala aspek secara komprehensif agar tidak kontraproduktif dengan upaya penguatan konsolidasi demokrasi dan tidak bertentangan dengan konstitusi. 

Dalam putusannya, MK menjabarkan pemilu nasional terdiri atas pemilihan DPR, DPD, dan presiden/wakil presiden. Sementera itu, pemilihan daerah terdiri atas pemilihn DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, dan kepala daerah. Selain itu, MK juga mengusulkan antara pemilu nasional dan pemilu daerah diberi jarak waktu paling singkat 2 tahun dan paling lama 2 tahun 6 bulan. 

Bersifat Final?

Heri menegaskan, berdasarkan Pasal 24C Ayat (1) UUD NRI 1945 MK berwenang menguji undang-undang terhadap UUD yang putusannya bersifat final, namun putusan tersebut harus sesuai dengan ketentuan konstitusi. 

“Semuanya perlu dipelajari secara seksama. Ditimbang sisi positif dan negatifnya. Di satu sisi, putusan MK tersebut memang sudah mempertimbangkan dinamika pemilu serentak 2024 yang masih ditemukan beberapa kelemahan. Namun, pada sisi lainnya juga terdapat hal-hal kontroversial yang berpotensi melanggar UUD 1945 dan juga melewati batas kewenangan kelembagaan Mahkamah Konstitusi,” kata Heri melalui keterangannya, Rabu (2/7)

Sisi Positif?

Anggota Komisi II DPR RI itu menjabarkan beberapa sisi positif putusan MK yang dianggap dapat berdampak pada penguatan konsolidasi demokrasi di tingkat lokal, peningkatan partisipasi pemilih, dan memperkuat kinerja kelembagaan penyelenggara pemilu. 

Pertama, pemisahan pemilu nasional dan pemilu daerah akan mendorong isu-isu lokal bisa menguat secara signifikan dan menjadi pertimbangan utama pemilih dalam mendukung calon legislatif daerah. 

“Selama ini, isu lokal selalu tertutup oleh isu nasinal, sehingga pemilih tidak memiliki banyak pertimbangan dalam menentukan pilihan politiknya,” jelas Heri.

Tingkatkan Partisipasi?

Kedua, pemisahan pemilu akan berpotensi mendorong peningkatan partisipasi pemilih dalam pilkada. “Pemilu serentak 2024 menghasilkan partisipasi pemilih yang berbeda antar pemilu legislatif dan Pilkada. Dalam pemilu legislatif dan pilpres, partisipasi pemilih tercatat sebesar 81%. 

Sementera partisipasi pemilih dalam pilkada menurun hanya menjadi 71%. Turunnya partisipasi pemilih dalam Pilkada dikarenakan adanya kejenuhan masyarakat yang menganggap jarak kedua pemilihan tersebut terlalu dekat,” kata Heri.

Waktu Longgar?

Ketiga, pemisahan pemilu akan mendorong penyelenggara pemilu bisa memiliki waktu yang longgar untuk mempersiapkan pemilihan secara lebih baik. “Penyelenggara pemilu bisa mempersiapkan pelaksanaan pemilu secara lebih baik dan lebih handal, termasuk melakukan perbaikan daftar pemilih untuk meminimalisir adanya daftar pemilih yang bermasalah,” ungkapnya. 

Namun, di sisi lain, Heri menjelaskan sisi kontrovesial putusan MK dan dampaknya terhadap penurunan kualitas demokrasi. Pertama, putusan MK yang memisahkan pemilu nasional dan pemilu lokal berpotensi akan mendorong meningkatnya petualang politik. Para calon legislatif DPR dan DPD yang gagal dalam pemilihan nasional bisa mencoba keberuntungan menjadi calon legislatif DPRD.

“Tampilnya para politisi pusat dalam pertarungan legislatif daerah bisa menyebabkan mengecilnya peluang putra-putra daerah menjadi anggota DPRD, mengingat para politisi pusat umumnya ‘relatif’ memiliki keunggulan modal dan jaringan. Hal tersebut akan menyebabkan penurunan demokrasi di daerah. Pesta demokrasi pemilihan lokal hanya dikuasai aktor-aktor politik dari pusat,” kata Hergun.

Melawan Konstitusi?

Kedua, putusan MK yang memisahkan pemilihan nasional dan pemilihan lokal berpotensi bertentangan dengan konstitusi. “Pasal 22E Ayat (1) UUD NRI 1945 menyatakan pemilu dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Lalu ayat (2) menyatakan pemilu diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, dan DPRD,” jelasnya.

Heri menjelaskan putusan MK berpotensi memperpanjang masa jabatan DPRD menjadi lebih dari 5 tahun. Hal tersebut dikarenakan sulitnya menggantikan anggota DPRD dengan pejabat DPRD (pj), sebagaimana yang pernah diterjadi pada kepala daerah yang digantikan oleh pejabat kepala daerah (pj). 

“Kepala daerah yang berjumlah 545 pasangan bisa diganti dengan pejabat (pj) kepala daerah sebagaimana yang pernah dipraktikkan pada 2022 hingga 2023. Namun untuk mengganti Anggota DPRD Provinsi yang jumlahnya mencapai  2.372 orang dan anggota DPRD Kabupaten/Kota yang jumlahnya 17.510 orang tentu akan mengalami kesulitan,” jelasnya.

“Perpanjangan masa jabatan anggota DPRD menjadi lebih dari 5 tahun akan menyebabkan krisis konstitusional, sebab apabila Putusan MK dilaksanakan justru dapat mengakibatkan pelanggaran konstitusi,” lanjutnya. 

Langgar UUD?

Selain itu, Hergun juga menegaskan, pemisahan skema pemilihan Presiden, DPR RI, DPD RI dengan Kepala Daerah dan DPRD juga melanggar UUD NRI 1945. “Perlu diketahui bahwa baik pemilihan anggota DPRD maupun Kepala Daerah merupakan bagian dari rezim pemilu sehingga pemilu harus dilaksanakan setiap 5 tahun sekali meskipun waktunya berbeda,” jelasnya.

“Perlu diketahui, penegasan DPRD sebagai rezim pemilu dijelaskan dalam pasal 22E UUD NRI 1945, sedangkan pilkada sebagai rezim pemilu ditegaskan dalam Putusan MK 95/2022,” lanjutnya.

Batas Kewenangan?

Ketiga, ia menilai MK telah melewati batas kewenangannya yang hanya sebagai penguji undang-undang terhadap UUD, bukan pembuat norma. Putusan MK yang memisahkan pemilihan nasional dan daerah telah mengambil alih kewenangan legislatif terkait open legal policy yang merupakan kewenangan DPR dan presiden. 

“Konstitusi kita sudah mengatur bahwa DPR dan Presiden sebagai pemegang kekuasan legislatif. Kedua lembaga tersebut yang berhak untuk menyusun dan mengubah suatu norma. Hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 5 dan Pasal 20 UUD NRI 1945,” tegasnya.

Timbulkan Ketidakpastian?

Keempat, putusan MK bisa berdampak terhadap adanya ketidakpastian hukum karena pemilihan DPRD yang dilaksanakan lebih dari 5 tahun akan melanggar prinsip kepastian hukum, yakni prinsip hukum yang tidak mudah berubah. 

"Selama ini pemilihan DPRD selalu dilakukan 5 tahun sekali sebagaimana amanat UUD 1945 dan yang dijabarkan dalam dalam UU Pemilu. Jika pemilihan DPRD dilakukan lebih dari 5 tahun akan menyebabkan adanya ketidakpastian hukum. Hal ini akan menjadi preseden buruk terhadap upaya memperkuat konsolidasi demokrasi,” tegasnya.

Tidak Konsisten?

Kelima, MK tidak konsisten dengan putusan sebelumnya yaitu Putusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2019 yang memberi enam opsi keserentakan pemilu. Akan tetapi, putusan MK yang baru justru memisahkan adanya pemilihan nasional dan pemilihan lokal. “Seharusnya, MK konsisten dengan putusan sebelumnya yang memberikan keleluasaan kepada pembentuk undang-undang untuk merumuskan model keserentakan pemilu,” katanya.

Heri menyatakan akan membawa kajian tersebut sebagai masukan dalam pembahasan RUU Pemilu mendatang. “Karena ada dugaan bertentangan dengan konstitusi, tidak menutup kemungkinan DPR akan lebih mengikuti ketentuan dalam UUD NRI 1945,” tegasnya. (Faj/P-3)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |