
Meski Presiden Donald Trump telah menengahi gencatan senjata antara Israel dan Iran, pemerintah federal Amerika Serikat tetap siaga terhadap potensi ancaman yang bisa muncul akibat konflik di Timur Tengah. Demikian disampaikan sejumlah pejabat keamanan dan intelijen kepada CNN.
Hingga saat ini, belum ada ancaman kredibel yang terdeteksi terhadap wilayah AS. Namun, para pejabat tetap mewaspadai kemungkinan serangan "lone wolf" atau aksi siber yang dipicu eskalasi konflik.
Penarikan Agen
Biro Investigasi Federal (FBI) bahkan mulai menarik sebagian agennya dari operasi penegakan imigrasi nasional. Penarikan itu untuk kembali fokus pada ancaman terorisme dalam negeri yang mungkin timbul pascaserangan terhadap Iran.
“Gencatan senjata bukan berarti kami mengendurkan kewaspadaan,” ujar salah satu sumber dari lembaga penegak hukum federal. “Sejarah menunjukkan rezim Iran tidak selalu dapat dipercaya. Pekerjaan kami tetap berjalan.”
Menurut laporan CNN, penarikan agen ini bersifat sementara dan bertujuan mengalokasikan sumber daya untuk pengawasan terhadap kemungkinan aksi balasan Iran. Meski jumlah pasti agen yang dialihkan belum ditentukan, beberapa kantor wilayah FBI diperkirakan akan mengalami pengurangan signifikan pada personel yang menangani isu imigrasi.
FBI menolak mengomentari secara spesifik langkah ini, namun dalam pernyataannya menyatakan pihaknya terus menilai dan menyesuaikan prioritas sumber daya untuk menghadapi ancaman paling mendesak terhadap keamanan nasional.
Peninjauan Ulang
Mantan Wakil Direktur FBI yang kini menjadi analis CNN, Andrew McCabe, menyebut fokus kini harus diarahkan pada investigasi ulang terhadap individu yang memiliki keterkaitan dengan pemerintah Iran, baik dalam kasus yang sedang berlangsung maupun yang telah ditutup.
“Semua kasus yang melibatkan koneksi ke Iran perlu ditinjau ulang,” kata McCabe. “Para informan juga harus diaktifkan kembali untuk mengumpulkan intelijen terkini.”
Peretasan
Di sisi lain, pejabat keamanan siber AS juga tengah meninjau kembali rekam jejak aktivitas peretasan oleh Iran terhadap institusi pemerintah dan perusahaan AS, guna mengantisipasi kemungkinan aksi balasan di ranah digital.
Iran dikenal menggunakan pendekatan hibrida dalam menyerang target AS — menggabungkan peretasan, pengintaian, dan serangan fisik. Departemen Keamanan Dalam Negeri (DHS) pun telah beberapa kali mengeluarkan peringatan tentang potensi ancaman terhadap pejabat AS, terutama setelah pembunuhan Jenderal Qasem Soleimani pada 2020.
Salah satu contohnya terjadi pada 2022, ketika seorang mantan penasihat keamanan nasional Trump menjadi target peretasan yang diduga bagian dari upaya pembunuhan.
Beberapa jam sebelum Trump mengumumkan gencatan senjata pada Senin malam, Direktur FBI Kash Patel menegaskan bahwa fokus utama lembaganya saat ini adalah “melindungi tanah air.”
“Dengan situasi yang sedang berlangsung, prioritas kami adalah memastikan keamanan wilayah dan masyarakat,” kata Patel dalam forum National Sheriff’s Association.
Sementara itu, Menteri Keamanan Dalam Negeri Kristi Noem menyatakan belum ada ancaman yang terdeteksi secara langsung, tetapi menegaskan bahwa level ancaman domestik tetap dinaikkan sebagai langkah antisipatif.
“Kami menyadari bahwa ketegangan yang meningkat bisa membuka potensi ancaman di dalam negeri. Itulah mengapa status ancaman saat ini dinaikkan,” ujarnya.
(CNN/Z-2)