Gelombang Protes Nasional Lawan Trump Guncang Amerika dan Dunia

3 hours ago 3
Gelombang Protes Nasional Lawan Trump Guncang Amerika dan Dunia Gelombang protes baru melanda Amerika Serikat dalam upaya menentang kepemimpinan Donald Trump.(Media Sosial X)

PARA pengunjuk rasa kembali memadati jalan-jalan di berbagai kota dan daerah di seluruh Amerika Serikat, Sabtu (19/4), dalam gelombang kedua protes bulan ini. Para penyelenggara berupaya mengubah ketidakpuasan terhadap kepemimpinan Donald Trump menjadi sebuah gerakan massa yang pada akhirnya diharapkan dapat diterjemahkan menjadi aksi nyata di kotak suara.

Menjelang siang, aksi protes besar sudah berlangsung di Washington, New York, dan Chicago. Gambar-gambar kerumunan yang tersebar di media sosial menunjukkan demonstrasi tambahan di Rhode Island, Maryland, Wisconsin, Tennessee, South Carolina, Ohio, Kentucky, California, dan Pennsylvania, serta di sejumlah negara lain. Warga Amerika di luar negeri juga menunjukkan penolakan mereka terhadap agenda Trump, termasuk di Dublin, Irlandia, dan kota-kota lain.

Lebih dari 400 aksi unjuk rasa telah direncanakan, sebagian besar digagas oleh kelompok bernama 50501, singkatan dari “50 protes di 50 negara bagian, satu gerakan”.

Para penentang pemerintahan Trump bergerak dari pantai timur hingga ke barat, termasuk dalam aksi di Portland, Maine, dan Portland, Oregon, mengutuk apa yang mereka anggap sebagai ancaman terhadap nilai-nilai demokrasi bangsa.

Demonstrasi ini mencakup pawai besar-besaran melewati kawasan Midtown Manhattan, unjuk rasa di depan Gedung Putih, serta para pengunjuk rasa yang membawa poster bertuliskan “Giliran Kita Melawan Tirani” dan “Para Fasis Datang, Para Fasis Datang” dalam peringatan 250 tahun dimulainya Perang Revolusi Amerika di Concord, Massachusetts.

Di Massachusetts, Thomas Bassford, seorang tukang batu pensiunan berusia 80 tahun, mengatakan kepada CBS News, warga AS tengah diserang oleh pemerintah mereka sendiri. “Ini adalah masa yang sangat berbahaya bagi kebebasan di Amerika. Terkadang kita harus berjuang demi kebebasan,” katanya.

Para pengunjuk rasa menyuarakan beragam kekhawatiran. Namun semuanya disatukan tema umum: penolakan terhadap masa jabatan kedua Donald Trump sebagai presiden.

“Kami sedang kehilangan negara kami,” ujar Sara Harvey, salah satu demonstran di Jacksonville, Florida, kepada New York Times. “Saya khawatir untuk cucu-cucu saya,” lanjutnya. “Saya lakukan ini demi mereka.”

Ini merupakan aksi protes keempat yang diselenggarakan kelompok tersebut sejak Trump dilantik pada 20 Januari. Aksi sebelumnya termasuk “Hari Tanpa Raja” pada Hari Presiden, 17 Februari — sebuah tema yang diangkat bahkan sebelum Trump menyebut dirinya sebagai raja dalam sebuah unggahan di media sosial beberapa hari kemudian.

Penyelenggara menyerukan agar 11 juta orang ikut serta dalam aksi kali ini, setara dengan 3,5% dari populasi AS.

Angka tersebut kemungkinan akan melampaui jumlah peserta dalam aksi “Hands Off” yang digelar pada 5 April, ketika 1.200 unjuk rasa diadakan di seluruh AS untuk menentang serangan Trump terhadap lembaga-lembaga dan badan-badan pemerintah. Aksi ini dipimpin tangan kanan presiden, Elon Musk — miliarder teknologi — melalui unit tidak resmi bernama Doge (Department of Government Efficiency).

Indivisible, gerakan progresif di balik aksi “Hands Off”, mengatakan mereka ingin menyampaikan pesan kepada politisi oposisi dan rakyat biasa bahwa perlawanan vokal terhadap kebijakan Trump adalah hal yang penting. Mereka juga menyatakan gerakan ini bertujuan membangun momentum menuju protes yang lebih besar dan meluas.

Heather Dunn, juru bicara 50501, mengatakan tujuan dari protes hari Sabtu adalah “melindungi demokrasi kita dari bangkitnya otoritarianisme di bawah pemerintahan Trump.”

Ia menggambarkan kelompoknya sebagai gerakan akar rumput yang “pro-demokrasi, pro-konstitusi, anti-penyalahgunaan kekuasaan eksekutif, dan non-kekerasan” yang bersifat non-partisan.

“Kami punya Demokrat, independen, dan juga Republik yang terdaftar — semuanya ikut turun ke jalan karena mereka semua percaya pada Amerika, karena mereka semua percaya pada pemerintahan yang adil dan mendahulukan rakyat, bukan keuntungan,” katanya kepada Washington Post.

Para akademisi yang mempelajari kemunduran demokrasi menuju otoritarianisme menyatakan bahwa protes bisa menjadi bagian dari strategi yang lebih luas untuk membalikkan arah tersebut.

“Oposisi terhadap pemerintahan otoriter harus selalu menggunakan berbagai saluran,” kata Steven Levitsky, ilmuwan politik dari Universitas Harvard dan penulis How Democracies Die bersama Daniel Ziblatt. “Mereka harus menggunakan pengadilan jika memungkinkan. Mereka harus menggunakan pemilu saat tersedia, dan mereka harus turun ke jalan bila perlu — hal ini bisa membentuk narasi dan pemberitaan media, yang sangat, sangat penting.”

Di Washington DC pada hari Sabtu, sebuah protes yang direncanakan oleh gerakan 50501 dijadwalkan berlangsung di Franklin Park. Sementara itu, para pengunjuk rasa lainnya, termasuk cabang lokal Indivisible, melakukan aksi di depan rumah JD Vance di kawasan Washington Naval Observatory. Para demonstran juga berkumpul di dekat Monumen Washington untuk melakukan pawai mendukung Kilmar Ábrego García, seorang pria asal El Salvador yang dideportasi secara salah dari Maryland ke negaranya. (The Guardian/Z-2)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |