
FENOMENA dokteroid, yakni individu yang mengaku sebagai tenaga medis tanpa latar belakang pendidikan kedokteran, kembali menjadi sorotan setelah kasus malapraktik Quack Brothers terjadi di India.
Dilansir dari Times of India, Kamis (29/5), dua kakak beradik ditangkap karena menyamar sebagai dokter bedah dan melakukan operasi terhadap seorang anak berusia enam tahun yang berujung pada kematian. Keduanya hanya merupakan lulusan pendidikan menengah setara SMA.
Menanggapi kasus ini, dosen Fakultas Kedokteran IPB University Ari Sri Wulandari, menjelaskan bahwa fenomena ini dikenal dengan istilah dokteroid. Mereka adalah individu tanpa pendidikan formal di bidang medis tetapi mengklaim sebagai tenaga kesehatan, bahkan melakukan tindakan medis.
Ari mengungkap sejumlah faktor yang memicu munculnya praktik dokteroid. Salah satunya adalah keterbatasan akses layanan kesehatan di daerah tertentu yang mendorong masyarakat mencari alternatif yang lebih murah dan mudah dijangkau.
"Rendahnya literasi kesehatan di masyarakat juga menjadi faktor penyebab. Banyak warga tidak memahami siapa saja yang memiliki kewenangan legal untuk memberikan layanan medis, dan mudah tertipu oleh penampilan seperti pakaian putih atau klaim palsu," ujarnya.
Ia juga menyoroti lemahnya regulasi dan pengawasan hukum yang membuka celah bagi praktik semacam ini. Menurutnya, kasus Quack Brothers di India mencerminkan kegagalan sistemik dalam pengawasan dan mutu layanan medis.
"Dalam situasi seperti ini, sangat penting bagi rumah sakit untuk memastikan bahwa hanya tenaga kesehatan yang memang punya kualifikasi, izin praktik, dan kompetensi yang memadai yang boleh melakukan tindakan medis," tegas Ari.
Untuk itu, ia menekankan pentingnya verifikasi ketat terhadap kredensial tenaga medis, pengawasan proses klinis, serta penerapan standar operasional prosedur (SOP) yang jelas. Budaya keselamatan pasien, sebut dia, harus menjadi tanggung jawab seluruh staf rumah sakit, tidak hanya tenaga medis.
Lebih lanjut, Ari menjelaskan bahwa setiap rumah sakit memiliki upaya sistematis untuk menjamin keselamatan pasien, yang dikenal sebagai patient safety.
Upaya ini berkaitan langsung dengan keselamatan jiwa dan kesejahteraan pasien, serta merupakan tanggung jawab besar dari penyedia layanan kesehatan.
"Di Indonesia, sistem keselamatan pasien mengacu pada regulasi Kementerian Kesehatan, standar akreditasi nasional dari Komisi Akreditasi Rumah Sakit (KARS), dan prinsip Patient Safety Goals yang sejalan dengan standar internasional seperti Joint Commission International (JCI)," paparnya.
Ari menyebut beberapa contoh penerapan keselamatan pasien, seperti identifikasi aktivitas berisiko tinggi, penilaian risiko berkala, pelaporan insiden, serta penerapan sasaran keselamatan nasional seperti identifikasi pasien yang tepat, komunikasi efektif antar petugas, pengamanan obat-obatan berisiko tinggi, dan pencegahan infeksi serta cedera akibat jatuh.
"Semua staf rumah sakit baik medis maupun nonmedis, memiliki peran penting dalam menjaga keselamatan pasien. Prosedur klinis harus dijalankan sesuai SOP dan prinsip keselamatan yang berlaku," tandasnya.
Untuk itu, staf rumah sakit wajib mengikuti pelatihan berkala dan melalui proses kredensial, yakni evaluasi kelayakan tenaga kesehatan yang dilakukan secara berkala, minimal setiap lima tahun saat perpanjangan izin praktik.
"Proses ini memastikan bahwa setiap tenaga medis yang memberikan layanan benar-benar kompeten dan layak," tutupnya. (Z-1)