
Fatwa yang dikeluarkan International Union of Muslim Scholars (IUMS) tentang jihad melawan Israel, termasuk memboikot produk perusahaan dari negara-negara yang diduga mendukung Israel, menuai beragam respons dari sejumlah otoritas dunia Islam. Mufti Agung Mesir Nazir Ayyad, yang mengepalai Darul Ifta, sebuah badan yang bertanggung jawab untuk mengeluarkan pendapat dan fatwa keagamaan di Mesir, secara tegas menolak fatwa tersebut. Menurutnya, seruan jihad seperti itu merupakan tindakan yang tidak bertanggung jawab dan berpotensi membahayakan stabilitas negara-negara muslim.
Sebagai pemimpin dari otoritas keagamaan tertinggi Mesir, Ayyad menekankan bahwa tidak ada kelompok atau entitas individu yang berhak mengeluarkan fatwa atas isu tersebut. Deklarasi jihad dalam Islam harus dilakukan oleh otoritas yang sah, yakni negara dan kepemimpinan politik yang diakui. Bukan pernyataan yang dikeluarkan entitas atau serikat yang tidak memiliki otoritas hukum dan tidak merepresentasikan muslim baik secara agama maupun dalam praktik.
“Mendukung rakyat Palestina dalam hak-hak mereka yang sah adalah kewajiban agama, kemanusiaan, dan moral. Namun, dukungan ini harus diberikan dengan cara yang benar-benar melayani kepentingan rakyat Palestina, dan bukan untuk memajukan agenda-agenda tertentu atau usaha-usaha sembrono yang dapat menyebabkan kehancuran, pemindahan, dan bencana lebih lanjut bagi rakyat Palestina sendiri,” ujar Ayyad dilansir dari keterangan resmi, Selasa (15/4).
Senada dalam menanggapi permasalahan tersebut, Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Ulil Abshar Abdalla (Gus Ulil) menilai fatwa Darul Ifta Mesir yang menolak seruan jihad tersebut justru lebih tepat dan kuat.
“Jihad tidak bisa dilaksanakan oleh otoritas non-negara. Jihad harus diotorisasi oleh imam alias pemerintah yang sah,” ujar Gus Ulil.
Gus Ulil menjelaskan, fatwa memang bisa berbeda antar satu ulama dan ulama yang lain, juga antara satu lembaga fatwa yang satu dan yang lain. Menurut dia, perbedaan fatwa ini dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain faktor politik. Ia juga menyoroti kemungkinan adanya kepentingan politik di balik fatwa IUMS mengingat lembaga itu berbasis di Qatar.
Lebih jauh terkait jihad dan boikot, sejumlah ulama dan delegasi pesantren se-Jawa dan Madura dalam forum Bahtsul Masa’il yang diselenggarakan di Pondok Buntet Pesantren, Cirebon, Jawa Barat beberapa waktu lalu juga memberikan penegasan serupa. Forum menyarankan agar keputusan terkait boikot produk dilakukan melalui kebijakan pemerintah, mengingat dampaknya yang luas dan menyangkut kepentingan publik.
Ketua penyelenggara forum Bahtsul Masa’il Se-Jawa Madura, Abbas Fahim mengungkapkan dalam pembahasan di forum tersebut para ulama menyepakati bahwa pada dasarnya, hukum memboikot produk tertentu sebagai aksi protes atas ketidakadilan diperbolehkan dalam syariat, asalkan memenuhi dua ketentuan utama.
Pertama, produk yang diboikot harus memiliki keterkaitan yang jelas dan dapat dibuktikan dengan pihak yang melakukan kezaliman. Kedua, gerakan boikot tidak boleh menimbulkan dampak negatif yang signifikan bagi pihak lain, seperti PHK massal tanpa solusi yang memadai.
Forum juga telah mengimbau masyarakat untuk lebih cermat dan selektif dalam menyikapi informasi yang beredar terkait daftar produk yang diboikot, agar tindakan ini tidak merugikan masyarakat Indonesia sendiri. (E-3)