
PENERAPAN tarif resiprokal oleh Amerika Serikat di bawah Presiden Donald Trump diprediksi memberi tekanan besar bagi perekonomian negara-negara mitra dagang, termasuk Indonesia. Peneliti Center of Reform on Economics (CoRE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menilai Indonesia belum memiliki daya tahan ekonomi yang memadai untuk menghadapi efek kebijakan tersebut.
"Kalau dikatakan Indonesia kuat, sebenarnya bisa dilihat dari beberapa indikasi awal. Misalnya IHSG yang mengalami penurunan paling tajam dibanding negara-negara Asia lainnya," kata Yusuf, Selasa (8/4).
Ia menilai penurunan itu mencerminkan ketidakpercayaan investor terhadap fundamental ekonomi Indonesia, yang menyebabkan arus modal keluar dari pasar keuangan domestik.
Yusuf mengakui keterkaitan Indonesia terhadap perdagangan global memang relatif lebih rendah dibanding negara lain. Namun, hal itu tidak membuat Indonesia kebal terhadap efek lanjutan kebijakan tarif AS.
"Kita punya kontribusi share perdagangan internasional relatif kecil. Tapi yang perlu diantisipasi adalah implikasi yang lebih luas dari perang dagang yang digaungkan Presiden Trump," ujarnya.
Salah satu imbas yang dirasakan adalah tekanan terhadap nilai tukar Rupiah. Melemahnya rupiah berpotensi mendorong inflasi, terutama karena Indonesia masih sangat bergantung pada impor bahan baku dan barang modal untuk industri.
“Ketika impor bahan baku mengalami kenaikan harga akibat pelemahan Rupiah, industri dalam negeri mau tidak mau harus menyesuaikan ongkos produksi,” terang Yusuf.
Dampak lainnya terasa pada sisi fiskal. Yusuf menyoroti kinerja penerimaan negara di awal tahun yang telah menunjukkan tren penurunan. Kondisi itu pada akhirnya mendorong pemerintah untuk mencari pembiayaan alternatif, salah satunya melalui penerbitan surat utang.
"Dalam kondisi saat ini, surat utang akan diterbitkan dengan imbal hasil yang lebih tinggi karena risiko pasar Indonesia yang meningkat. Artinya, beban bunga utang pemerintah ke depan juga akan makin besar," kata dia.
Karenanya, imbuh Yusuf, Indonesia tidak berada dalam posisi tawar yang kuat untuk merespons kebijakan tarif AS secara agresif. Berbeda dengan Tiongkok yang bisa melakukan retaliasi, Indonesia justru harus menempuh jalur negosiasi.
"Indonesia paham bahwa melakukan retaliasi akan memberikan efek pada berbagai aspek perdagangan kita sendiri. Ini sedikit banyak menunjukkan bahwa ekonomi Indonesia belum cukup kuat menghadapi tarif resiprokal Amerika Serikat," pungkasnya. (Mir/M-3)