
PRESIDEN Amerika Serikat (AS) Donald Trump telah berbicara tentang tarif sebagai raksasa yang menciptakan lapangan kerja. Tarif akan, "Menciptakan lapangan kerja yang belum pernah kita lihat," kata Trump pada Selasa (11/3) selama sesi gabungan Kongres.
Para ekonom tidak setuju. Faktanya, kata mereka, kebijakan tarif yang ditempuh Trump sejak menjabat kemungkinan akan memiliki efek sebaliknya.
"Itu merugikan lapangan kerja Amerika," kata Mark Zandi, kepala ekonom Moody's. Dia mengategorikan tarif yang diberlakukan secara luas sebagai kalah-kalah.
"Tidak ada pemenang di sini dalam perang dagang yang tampaknya sedang kita alami," kata Zandi.
Serangkaian tarif
Pemerintahan Trump telah mengumumkan serangkaian tarif sejak Hari Pelantikan.
Trump mengenakan bea tambahan sebesar 20% pada semua impor dari Tiongkok. Dia mengenakan tarif sebesar 25% pada impor dari Kanada dan Meksiko, dua mitra dagang terbesar AS. Hanya beberapa hari setelah itu berlaku, presiden menunda pungutan pada beberapa produk selama sebulan.
Tarif 25% untuk baja dan aluminium akan mulai berlaku pada Rabu (12/3). Bea masuk untuk tembaga dan kayu serta tarif timbal balik untuk semua mitra dagang AS dapat diberlakukan dalam waktu dekat.
Ada logika yang tampak sederhana di balik kekuatan protektif kebijakan ekonomi tersebut.
Tarif umumnya bertujuan membantu perusahaan AS bersaing lebih efektif dengan pesaing asing. Tarif membuat perusahaan lebih mahal untuk mendapatkan produk dari luar negeri. Produk AS terlihat lebih menguntungkan, sehingga memberikan dukungan bagi industri dan lapangan kerja dalam negeri.
Ada beberapa bukti manfaat tersebut untuk industri yang menjadi sasaran. Misalnya, tarif baja selama masa jabatan pertama Trump mengurangi impor baja dari negara lain sebesar 24%, secara rata-rata, selama 2018 hingga 2021, menurut laporan Komisi Perdagangan Internasional AS tahun 2023.
Tarif tersebut juga menaikkan harga baja AS dan produksi dalam negeri masing-masing sekitar 2%, kata laporan tersebut. Tarif baja baru yang akan mulai berlaku pada 12 Maret juga kemungkinan akan mendongkrak harga baja, tulis Shannon O'Neil dan Julia Huesa, peneliti di Council on Foreign Relations, pada Februari.
Harga lebih tinggi kemungkinan akan menguntungkan produsen AS dan menambah lapangan pekerjaan pada jumlah karyawan industri baja saat ini, sekitar 140.000.
Tarif memiliki dampak sampingan
Meskipun proteksi tarif dapat membebaskan industri-industri AS yang sedang berjuang, ada biaya yang harus dikeluarkan, tulis Lydia Cox, asisten profesor ekonomi di University of Wisconsin-Madison dan pakar perdagangan internasional, dalam makalah di 2022.
"Tarif menciptakan biaya input lebih tinggi untuk industri-industri lain, sehingga membuat mereka rentan terhadap persaingan asing," tulis Cox.
Efek limpahan ini merugikan sektor-sektor ekonomi lain. Ini pada akhirnya, kata para ekonom, menyebabkan hilangnya lapangan pekerjaan.
Ambil contoh baja. Tarif baja meningkatkan biaya produksi untuk sektor manufaktur dan industri-industri AS lain yang padat baja, seperti mobil, mesin pertanian, peralatan rumah tangga, konstruksi, dan pengeboran minyak, tulis O'Neil dan Huesa.
Cox mempelajari dampak tarif baja yang diberlakukan oleh mantan presiden George W. Bush pada 2002-2003. Ia menemukan bahwa tarif tersebut bertanggung jawab atas 168.000 lebih sedikit pekerjaan per tahun di industri yang menggunakan baja. Ini secara rata-rata lebih banyak pekerjaan daripada yang ada di seluruh sektor baja.
Tarif merupakan, "Instrumen yang cukup tumpul," kata Cox selama webinar baru-baru ini untuk Harvard Kennedy School. Tarif menciptakan, "Banyak kerusakan tambahan," tambahnya.
Tarif merupakan pajak atas ekspor
Kerusakan tersebut mencakup tarif pembalasan yang diberlakukan oleh negara lain. Ini membuat eksportir yang berbasis di AS, kata para ekonom, lebih mahal untuk menjual barang mereka ke luar negeri.
Tarif yang diberlakukan selama masa jabatan pertama Trump pada produk-produk seperti mesin cuci, baja, dan aluminium mencapai US$290 miliar impor dengan tarif rata-rata 24% pada Agustus 2019, menurut makalah tahun 2020 yang diterbitkan oleh Federal Reserve AS. Pungutan tersebut pada akhirnya diterjemahkan menjadi tarif sebesar 2% pada semua ekspor AS setelah memperhitungkan pembalasan asing. Demikian temuannya.
"Pajak atas impor pada dasarnya ialah pajak atas ekspor," tulis Erica York, ekonom senior di Tax Foundation, tahun lalu untuk Cato Institute, lembaga pemikir libertarian.
"Kerugian ekonomi AS akibat tarif Trump periode pertama itu jelas berkali-kali lipat lebih banyak daripada upah pekerjaan yang baru diciptakan," tulis ekonom Larry Summers, mantan menteri keuangan selama pemerintahan Clinton, dan Phil Gramm, mantan senator AS (R-Texas), dalam opini Wall Street Journal baru-baru ini. Presiden Joe Biden mempertahankan sebagian besar tarif Trump.
Mitra dagang AS telah mulai melawan gelombang tarif terbaru Trump. Tiongkok mengenakan tarif hingga 15% pada banyak barang pertanian AS--ekspor AS terbesar ke Tiongkok--mulai Senin (10/3). Kanada juga mengenakan tarif balasan sebesar US$21 miliar pada barang-barang AS seperti jus jeruk, selai kacang, kopi, peralatan, alas kaki, kosmetik, sepeda motor, dan produk kertas.
Presiden Trump menyinggung potensi kerugian ekonomi akibat kebijakan tarifnya selama pidatonya di Kongres. "Akan ada sedikit gangguan, tetapi kami baik-baik saja dengan itu," katanya. "Tidak akan banyak."
Sementara banyak ekonom belum memperkirakan resesi AS, Trump dalam wawancara Fox News pada Minggu tidak mengesampingkan kemungkinan penurunan saat tarif mulai berlaku, meskipun ia mengatakan ekonomi akan diuntungkan dalam jangka panjang. Jika resesi terjadi, itu akan membebani sektor yang dilindungi juga, kata para ekonom.
Pemilih memilih Presiden Trump dengan mandat untuk melembagakan agenda ekonomi yang mencakup tarif, kata Kush Desai, juru bicara Gedung Putih, dalam pernyataan melalui email. "Tarif memainkan peran penting dalam kebangkitan industri Amerika Serikat yang dimulai sejak 1800-an melalui masa kepresidenan William McKinley," kata Desai.
Hasil mengecewakan
Ada preseden historis untuk perang dagang yang sedang terjadi yaitu Tarif Smoot-Hawley tahun 1930. Ini memicu pengurangan ekspor dan gagal meningkatkan harga pertanian bagi para petani yang ingin dilindunginya, tulis Michael Strain, direktur studi kebijakan ekonomi di American Enterprise Institute, lembaga pemikir konservatif, dalam makalah tahun 2024.
Para ekonom juga percaya bahwa tarif Smoot-Hawley memperburuk Depresi Besar. Meskipun kebijakan ekonomi yang berusia hampir seabad tidak serta-merta menunjukkan yang akan terjadi di era modern, kebijakan proteksionis dari tahun-tahun pasca-2017--seperti Smoot-Hawley--memberikan hasil yang mengecewakan, tulis Strain.
Bukti dari beberapa tahun terakhir menunjukkan proteksionisme sebenarnya dapat merugikan para pekerja yang ingin dibantunya. Misalnya, tarif periode pertama Trump mengurangi total lapangan kerja manufaktur sebesar 2,7%, tulis Aaron Flaaen dan Justin Pierce, ekonom di Federal Reserve Board, pada 2024. Itu setelah memperhitungkan peningkatan 0,4% pada lapangan kerja di bidang manufaktur yang dilindungi oleh tarif, menurut temuan mereka.
Perang dagang 2018-2019, "Gagal menghidupkan kembali manufaktur dalam negeri," dan justru mengurangi lapangan kerja di sektor manufaktur secara luas, tulis Strain.
Porsi lapangan kerja AS yang berasal dari lapangan kerja manufaktur menurun sejak berakhirnya Perang Dunia II, sebagian besar karena kemajuan teknologi telah meningkatkan produktivitas pekerja, kata Strain. Akan lebih membantu untuk mengarahkan kebijakan ekonomi ke arah menghubungkan pekerja dengan lapangan kerja masa depan.
"Perdagangan--seperti kemajuan teknologi--memang mengganggu, tetapi upaya untuk membenamkan ekonomi AS dalam hal ini bukanlah respons yang membantu," tulisnya. (CNBC/I-2)