
ANGGOTA Komisi IX DPR RI Edy Wuryanto mengkritik pemotongan remunerasi tunjangan hari raya (THR) yang dilakukan RSUP Dr Kariadi Semarang dan RSUP Dr Sardjito Yogyakarta terhadap tenaga kesehatan (nakes). Ia menilai tidak ada upaya dari pemerintah daerah untuk menyejahterakan tenaga kesehatan.
“Padahal jumlah mereka ini paling banyak di setiap fasilitas kesehatan. Artinya mereka adalah motor dari layanan kesehatan,” kata Edy dalam keterangannya, Kamis (27/3).
Ia mengaku telah mengumpulkan informasi soal pemotongan THR di dua rumah sakit dan menemukan kasus serupa dari beberapa tenaga kesehatan.
"Ini menjadi hal yang serius dan harus segera direspon sebelum hari raya Idul Fitri," ujarnya.
Menurutnya pemotongan ini tidak linier dengan transformasi kesehatan di bidang sumber daya manusia kesehatan. Apalagi menurut aturan yang berlaku, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 202/PMK.05/2022 dan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 335 Tahun 2024, remunerasi bagi pegawai Badan Layanan Umum (BLU) rumah sakit merupakan hak yang diberikan sebagai alat motivasi pegawai.
Prinsip-prinsip keadilan, proporsionalitas, kesetaraan, kepatutan, dan kinerja harus menjadi dasar dalam sistem penggajian di rumah sakit, bukan justru diabaikan.
"Saya tegaskan, tenaga kesehatan ini yang menjadi ujung tombak layanan sehingga sebisa mungkin hak mereka tidak dikurangi. Jangan sampai mengurangi motivasi untuk memberikan perawatan yang baik. Sebab yang rugi juga akhirnya masyarakat,” ucap Edy.
Akibat dari pemotongan remunerasi dan THR ini, tenaga kesehatan mengalami penurunan kesejahteraan. Padahal menjelang hari raya, kebutuhan meningkat. Edy mengingatkan bahwa langkah menejemen untuk menyunat THR tidak sejalan dengan perintah Presiden Prabowo Subianto yang meminta pemberian THR harus 100 persen.
"Ini bukan hanya soal angka dalam laporan keuangan rumah sakit. Presiden juga sudah memerintahkan untuk memberikan THR maksimal 100 persen. Pesan maksimal ini harusnya tidak dimaknai boleh memotong THR," tegas Edy.
Manajemen Harus Terbuka
Edy juga memahami jika remunerasi ini terkait dengan pendapatan rumah sakit. Ini tertuang dalam Keputusan Direktur Jenderal Kesehatan Lanjutan Nomor Hk.02.02/D/286/2025 tentang Petunjuk Teknis Pemberian Remunerasi Bagi Pejabat Pengelola, Pegawai, dan Dewan Pengawas Badan Layanan Umum Rumah Sakit di Lingkungan Kementerian Kesehatan. Artinya naik turunnya remunerasi ini tergantung pendapatan rumah sakit.
"Ini yang harus dikomunikasikan kepada tenaga kesehatan. Apakah menejemen rumah sakit sudah terbuka kepada tenaga kesehatannya?” tuturnya.
Legiselator dari Dapil Jawa Tengah III ini meminta Kementerian Kesehatan segera turun tangan dna tentunya Komisi IX DPR RI akan terus memantau hal ini.
"Jika memang ada kendala anggaran, mari kita lihat transparansinya. Jangan sampai kebijakan ini justru menunjukkan ketidakadilan dan mengorbankan tenaga medis atau tenaga kesehatan yang sudah menjadi ujung tombak pelayanan," pungkasnya. (H-4)