
DISRUPSI ekonomi dapat memengaruhi kemampuan masyarakat untuk mengakses layanan kesehatan, termasuk diagnosa dan pengobatan penyakit tuberkulosis (TB). Hal ini dapat menyebabkan keterlambatan diagnosis dan pengobatan, yang pada akhirnya dapat meningkatkan risiko penularan dan kematian akibat TB.
“Indonesia masih menghadapi beban tinggi penyakit menular, terutama TB yang merupakan salah satu penyebab kematian tertinggi akibat penyakit menular di negara ini,” ungkap Kepala Organisasi Riset Kesehatan - Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Indi Dharmayanti dalam keterangan resmi, Jumat (2/5).
Menurut Global Tuberculosis Report tahun 2023 yang diterbitkan World Health Organization (WHO), Indonesia menempati peringkat kedua tertinggi di dunia dalam jumlah kasus TB, dengan estimasi lebih dari 999 ribu kasus pada 2022.
BRIN memandang bahwa riset, inovasi, dan kolaborasi lintas sektor adalah kunci untuk menjaga keberlanjutan program pengendalian penyakit, termasuk TB.
“Kami mendorong terwujudnya integrasi antara ilmu pengetahuan, kebijakan, dan praktik di lapangan. Karena hanya dengan pendekatan yang komprehensif kita dapat menjaga capaian kesehatan masyarakat bahkan di tengah ketidakpastian ekonomi,” imbuh Indi.
Senada dengan permasalahan tersebut, Kepala Pusat Riset Kesehatan Masyarakat dan Gizi BRIN, Wahyu Pudji Nugraheni menyampaikan bahwa pengaruh disrupsi ekonomi dalam penanggulangan TB dan potensi kedaruratan kesehatan Indonesia sangat relevan dengan tantangan yang sedang kita hadapi bersama.
Disrupsi ekonomi adalah gangguan besar dan tiba-tiba terhadap sistem atau aktivitas ekonomi yang menyebabkan perubahan signifikan pada cara produksi distribusi konsumsi atau interaksi pasar berlangsung. Disrupsi perlu memberikan dampak nyata pada sektor kesehatan, baik dari sisi pembiayaan akses pelayanan hingga keberlanjutan program prioritas seperti penanggulangan TB.
“Sebagaimana kita tahu bersama, Indonesia masih menjadi salah satu negara dengan beban devisa tertinggi di dunia. Menurut data WHO, Indonesia menempati peringkat kedua setelah India dalam jumlah kasus TB,” terang Wahyu.
Dalam kondisi ekonomi yang tidak stabil, menurut Wahyu, upaya penemuan kasus pengobatan dan pelacakan kontak menjadi lebih sulit. “Keterbatasan anggaran, turunnya daya beli masyarakat, serta gangguan terhadap sistem layanan kesehatan, semuanya berpotensi memperlambat pencapaian target eliminasi TB nasional,” tandasnya. (H-1)