Daya Beli Masih Terancam, Ekonomi Berpotensi Melambat

3 hours ago 4
Daya Beli Masih Terancam, Ekonomi Berpotensi Melambat Pengunjung berjalan keluar dari salah satu gerai fesyen di pusat perbelanjaan Kuningan City, Jakarta. Tingkat pendapatan masyarakat, terutama kelas menengah ke bawah, sedang tertekan. Hal itu berdampak pada laju konsumsi rumah tangga yang berpotensi turut(ANTARA/Fauzan)

KONSUMSI rumah tangga merupakan komponen yang berkontribusi besar terhadap laju pertumbuhan Produksi Domestik Bruto (PDB) Indonesia dengan porsi di kisaran 55%. Karenanya, penurunan konsumsi rumah tangga yang masih terjadi saat ini berpeluang besar menarik pertumbuhan ekonomi ke bawah.

Direktur Eksekutif Segara Research Institute Piter Abdullah Redjalam mengatakan, beberapa indikator dapat menjadi acuan untuk menunjukkan pelemahan konsumsi rumah tangga, utamanya dari maraknya gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) dan indeks ketersediaan lapangan kerja. Apalagi tren PHK dan rendahnya indeks ketersediaan lapangan kerja akan mewarnai perekonomian Indonesia di tahun ini.

"Pasar ketenagakerjaan pada 2025 masih diwarnai oleh maraknya PHK, melanjutkan apa yang terjadi di 2024. Tahun ini diperkirakan akan lebih besar dari tahun lalu, baik dari skala maupun jumlah," kata dia dalam webinar bertajuk IMF Memprediksi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia 2025-2026 Hanya 4,7%: Indonesia Bisa Apa?, Senin (28/4).

Indeks ketersediaan lapangan kerja Indonesia, misalnya, terus mengalami penurunan sejak Januari 2025, melanjutkan tren di tahun sebelumnya kendati masih berada di zona optimistis. Kondisi itu berpengaruh pada kelompok masyarakat menengah ke bawah yang secara umum merupakan kelompok pekerja.

Maraknya gelombang PHK yang diprediksi akan meningkat tahun ini juga pada akhirnya akan memperparah kondisi daya beli masyarakat. Itu karena masyarakat menengah ke bawah mengalami PHK dan ketersediaan lapangan kerja kian menyusut.

Alhasil, sambungnya, tingkat pendapatan masyarakat, terutama kelas menengah ke bawah, tertekan. Hal itu berdampak pada laju konsumsi rumah tangga yang berpotensi turut memperlambat laju perekonomian.

Sayangnya, pemerintah dinilai kerap enggan mengakui hal itu. "Pada tatanan tertentu (pemerintah) kita dalam posisi denial bahwa kondisinya mengalami penurunan daya beli, banyak yang mengatakan mobil listrik penjualannya meningkat, perlu dipahami ini cara berpikir yang salah," kata Piter.

"Kita tidak menyatakan seluruhnya mengalami penurunan daya beli, ini terjadi umumnya pada menengah ke bawah. Kelompok menengah kita turun, (penurunan) tidak terlihat pada kelompok kaya, mereka semakin kaya, seperti saat pandemi," lanjutnya.

Hal lain yang dinilai mengonfirmasi penurunan daya beli dapat dilihat melalui indeks penjualan riil.

Contoh terdekat, imbuh Piter, ialah pada saat Ramadan dan Idulfitri. Secara historis, indeks penjualan riil meningkat dan bertahan cukup lama pada momen tersebut. Hal itu tak tecermin pada tahun ini.

Di samping itu, tren inflasi yang kerap disebut terkendali oleh pemerintah dan otoritas terkait juga dianggap tak sepenuhnya tepat. Situasi inflasi saat ini justru dinilai memperlihatkan secara jelas bahwa ada permasalahan pada konsumsi masyarakat.

Tingkat inflasi umum yang rendah dan tingginya inflasi inti merupakan bukti ada permasalahan pada daya beli. Inflasi inti yang tinggi, kata Piter, juga tak serta merta menunjukkan masyarakat masih memiliki kemampuan untuk melakukan konsumsi.

Tingkat inflasi yang relatif tinggi belakangan ini banyak disebabkan oleh kenaikan harga emas dan barang-barang impor. "Ketika kurs melemah, (harga) barang impor naik. Sekarang ini kita tahu emas mengalami kenaikan, inflasi inti tinggi karena kenaikan harga emas dan kenaikan harga barang impor. Demand secara keseluruhan mengalami penurunan," tutur Piter.

"Jadi sekarang ini kita mengalami inflasi yang sangat rendah, karena penurunan demand yang tidak bisa dikatakan sebagai prestasi. Inflasi di kisaran 1% itu sebetulnya sesuatu yang perlu kita khawatirkan," tambahnya.

Kebijakan tidak akomodatif
Situasi yang menunjukkan adanya tekanan pada ekonomi itu tak ditanggapi dengan baik oleh pemerintah. Piter menilai kebijakan yang keluar justru mendukung dan mendorong tren negatif tersebut. Pemerintah dan otoritas terkait dinilai tak responsif terhadap perubahan yang terjadi.

Dari sisi moneter, misalnya kebijakan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia cenderung berlawanan dengan situasi dan mendorong tren pemburukan menguat. Bank sentral disebut terus menerus menyerap likuiditas dan menyebabkan uang di perekomian menjadi kian terbatas.

Operasi moneter yang dilakukan BI juga dipandang memberikan pukulan terhadap perekonomian Indonesia. Belum lagi kebijakan suku bunga yang saat ini masih cenderung tinggi. Belum lagi juga kebijakan fiskal yang terbatas.

"Jadi, respons kebijakan tidak akomodatif. Kita dihadapkan pada tantangan global, tetapi perekonomian kita lebih ditentukan oleh kondisi domestik. Domestik kita dipengaruhi oleh cara kita merespons. Kalau baik dan tepat, kita bisa mengembalikan pertumbuhan ekonomi setidak-tidaknya pada level jangka panjang. Tapi kalau tidak tepat, tren penurunan ekonomi akan berlanjut," kata Piter.

"Dengan asumsi tidak ada perubahan, pertumbuhan ekonomi tidak akan mencapai 5%. Untuk mengembalikan ke level 5% dibutuhkan perubahan signifikan yang cukup mendasar," pungkasnya. (Mir/E-1)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |