
PENGAMAT Militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi menjelaskan TNI AL bukan satu-satunya lembaga negara yang pernah memiliki utang ke Pertamina, terutama terkait dana kompensasi Bahan Bakar Minyak (BBM).
Hal itu menanggapi pernyataan Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksamana TNI Muhammad Ali, yang meminta pihaknya diperlakukan sama seperti Polri oleh Pertamina, yakni diberikan subsidi untuk bahan bakar minyak (BBM).
“Ini bukan hal baru. Dengan kata lain, praktik utang ini telah menjadi semacam kelaziman institusional, ironisnya justru dilakukan oleh aparat negara, bukan oleh warga negara,” kata Khairul kepada Media Indonesia pada Senin (28/4).
Khairul mengungkapkan bahwa praktik tersebut terjadi di berbagai institusi dari Polri hingga BUMN strategis seperti PLN dan Garuda. Menurutnya, permintaan KSAL agar TNI AL mendapatkan subsidi BBM sebagaimana yang diterapkan kepada Polri merupakan hal yang wajar.
“Hal tersebut sebetulnya wajar dan sudah seharusnya diberlakukan sejak lama. Sangat aneh jika selama ini terjadi perbedaan perlakuan, padahal TNI memegang peran kunci dalam menjaga pertahanan dan kedaulatan nasional,” ungkapnya.
Menurut Khairul, terjadinya tunggakan TNI AL pada Pertamina hari memperlihatkan betapa sulitnya menyelaraskan kebutuhan taktis lapangan dengan tata kelola keuangan negara yang rigid.
“Subsidi BBM untuk operasional bukan hanya soal efisiensi anggaran, tetapi juga soal memastikan kesiapan tempur dan mobilitas satuan dalam menghadapi potensi ancaman,” tukasnya.
Selain itu, Khairul memandang bahwa seharusnya jangan ada praktik perbedaan subsidi terkait pembelian operasional BBM antara Polri dan TNI. Sebab Ia menilai TNI sebagai garda pertahanan negara, juga memiliki tugas dan wewenang yang sangat strategis.
“Padahal, operasi-operasi TNI AL di laut, seperti patroli keamanan, pengamanan wilayah perbatasan, penegakan hukum di laut, adalah operasi negara yang juga sangat strategis,” ungkapnya.
Khairu menilai, jika dukungan bahan bakar untuk TNI AL tetap diperlakukan sebagai transaksi komersial biasa tanpa diberlakukan sistem subsidi, beban anggaran TNI AL akan makin berat dan berisiko mengganggu stabilitas kebutuhan operasional.
“Untuk itu, pemberian subsidi atau bentuk dukungan anggaran khusus untuk BBM operasional TNI AL perlu dipertimbangkan, dengan tetap memastikan ada mekanisme pengawasan dan akuntabilitas yang ketat untuk penggunaannya,” katanya.
Lebih jauh, Khairul menekankan bahwa pemberian subsidi BBM kepada TNI AL sangat penting agar negara tetap mampu menjaga kedaulatan wilayah lautnya secara optimal, tanpa tersandera masalah administratif anggaran.
“Pemutihan atau pengalihan harga BBM menjadi subsidi seperti yang diminta KSAL Laksamana Muhammad Ali, saya kira layak dipertimbangkan, bukan hanya sebagai solusi darurat tetapi juga sebagai pengakuan terhadap kebutuhan riil operasional pertahanan negara,” imbuh Khairul.
Kendati demikian, langkah tersebut harus dibersamai dengan reformasi tata kelola anggaran yang transparan dan akuntabel. Selain itu penyusunan kebutuhan harus berbasis para proyeksi dinamis, kata Khairul, sistem audit yang lebih terbuka dan ketat melalui mekanisme pembiayaan yang fleksibel dan akuntabel.
“Hal ini penting supaya subsidi yang diberikan benar-benar digunakan untuk mendukung tugas pokok dan fungsi TNI secara optimal. Tanpa pembenahan struktural, tunggakan-tunggakan semacam ini hanya akan terus berulang, memperlemah kesiapan operasional dan sekaligus membebani keuangan negara,” tandasnya. (Dev/P-3)