Climate Policy Initiative Bersama Media Indonesia Hadirkan Buku Siapa Bayar Apa untuk Transisi Hijau

1 week ago 9
Climate Policy Initiative Bersama Media Indonesia Hadirkan Buku Siapa Bayar Apa untuk Transisi Hijau Peluncuran buku Siapa Bayar Apa untuk Transisi Hijau(MI/Nike Amelia Sari)

CLIMATE Policy Initiative (CPI) Indonesia bekerjasama dengan Media Indonesia menghadirkan buku berjudul Siapa Bayar Apa untuk Transisi Hijau. Buku yang dipublikasikan oleh Media Indonesia Publishing dan berjumlah 246 halaman tersebut membahas kebutuhan-kebutuhan untuk transisi hijau di Indonesia. Buku ini ditulis oleh 10 penulis yang terdiri dari pakar-pakar yang ahli di bidangnya, baik dari bidang perbankan, akademisi, energi, ekonom, dan lainnya.

“Tujuan Climate Policy Initiative dalam menyusun buku ini adalah kita sudah lama bergelut dengan isu bahwa untuk mengatasi perubahan iklim yang mana sudah terasa sangat nyata sekarang, itu memerlukan investasi yang lumayan tinggi dan sering kali terjadi perdebatan di kalangan pembuat kebijakan mengenai siapa yang harus membayar biaya tersebut,” kata Direktur CPI Indonesia Tiza Mafira saat ditemui Media Indonesia usai acara Peluncuran dan Bedah Buku Siapa Bayar Apa untuk Transisi Hijau, yang digelar di The Westin Hotel, Jakarta Selatan, Rabu (23/4).

“Nah, buku ini berusaha untuk mengupas bahwa kebutuhannya itu macam-macam, ada kebutuhan yang sifatnya investasi supaya kita bisa punya energi terbaru yang lebih banyak, ada yang kebutuhan yang sifatnya menjaga agar listrik tetap murah bagi masyarakat, ada kebutuhan yang sifatnya lebih ke menjaga agar kalau ada bencana perubahan iklim, cuaca ekstrim pemerintah bisa membantu masyarakat untuk mengatasi bencana-bencana tersebut. Jadi, siapa bayar apa itu adalah topik yang berusaha mengupas kebutuhan-kebutuhan tersebut yang berbeda dan dari perspektif konteks Indonesia,” sambungnya.

Tugas media

Dalam kesempatan yang sama, Direktur Pemberitaan Media Indonesia, Abdul Kohar mengungkapkan salah dua tugas utama media ialah bagaimana memperjuangkan hak orang-orang yang tidak memiliki suara atau berada dalam situasi yang tidak bisa bersuara, dan orang-orang yang tidak punya kuasa.

“Persoalannya setiap berbicara tentang transisi hijau, berbicara tentang roadmap transisi energi menuju renewable energy, itu selalu seolah-olah itu adalah peristiwa yang belum terjadi. Bahwa yang namanya climate change itu peristiwa yang tidak sedang berada di hadapan kita, padahal rakyat yang paling bawah sekalipun, itu yang paling terdampak dari apa yang di hari ini kita sebut sebagai climate change. Media itu, salah dua tugas utamanya itu adalah yang memperjuangkan kesetiaan kepada publik, itu memperjuangkan pertama adalah the voicelessness, dan yang kedua the powerlessness, yang tidak bisa bersuara atau yang lemah dalam bersuara dan yang tidak memiliki kekuasaan atau tidak memiliki kuasa,” ungkap Kohar.

“Dua kombinasi inilah yang diperjuangkan ke media, karena isu dengan transisi hijau, itulah kita harus melihat siapa yang paling terdampak. Jelas, sebetulnya yang paling terdampak dari isu perubahan iklim itu masyarakat banyak, masyarakat sekarang sudah kebingungan ketika menghadapi bencana banjir dan petani yang gagal panen karena padinya terus-menerus direndam air karena perubahan iklim. Bekasi itu salah satu perumahan yang bertahun-tahun tidak pernah banjir, kemarin 2-3 meter. Ini adalah salah satu bukti bahwa perubahan iklim itu suatu yang sudah dihadapi. Tetapi, lagi-lagi respons pemangku kebijakan itu lebih sering men-denial, melakukan penyangkalan ketimbang respons secara cepat mengatasi keadaan lalu menyiapkan mitigasi,” sambungnya.

Menurut Kohar, buku Siapa Bayar Apa untuk Transisi Hijau? yang diedit oleh ekonom senior Indonesia, Adrian T.P. Panggabean dan ekonom CPI, Albertus P. Siagian ini semacam kamus bagi para jurnalis untuk bagaimana menyampaikan kepada publik dan pemangku kepentingan terkait pesan-pesan seputar transisi hijau yang dibahas di buku tersebut. (Nas/M-3)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |