Citra Alam Semesta Bayi Terbaru: Mengungkap Jejak Cahaya Pertama Setelah Big Bang

1 month ago 12
 Mengungkap Jejak Cahaya Pertama Setelah Big Bang Teleskop Kosmologi Atacama (ACT) berhasil menangkap citra paling presisi dari latar belakang gelombang mikro kosmik (CMB), yang merupakan cahaya fosil pertama alam semesta.(ACT/ESA)

CITRA terbaru dari Atacama Cosmology Telescope (ACT) memberikan gambaran paling akurat tentang "langkah pertama" alam semesta menuju pembentukan bintang dan galaksi. Gambar-gambar ini menampilkan latar belakang gelombang mikro kosmik (CMB), peninggalan cahaya pertama di alam semesta, yang menggambarkan kondisi kosmos berusia 13,8 miliar tahun saat baru berusia 380.000 tahun setelah Big Bang.

Mengungkap Rahasia Kosmos Awal

Keberhasilan ACT ini membantu ilmuwan memverifikasi model standar kosmologi, yang merupakan deskripsi terbaik tentang pembentukan dan evolusi alam semesta. Dengan resolusi tinggi, citra ini menampilkan intensitas dan polarisasi cahaya pertama dengan ketajaman luar biasa.

Data baru dari ACT mengungkap pergerakan gas purba di alam semesta yang tertarik oleh gravitasi. Ini menunjukkan pembentukan awan hidrogen dan helium kuno yang nantinya akan runtuh untuk membentuk bintang pertama. Dengan demikian, alam semesta mulai menapaki jalannya menuju pembentukan galaksi.

"Kita menyaksikan langkah awal menuju terbentuknya bintang dan galaksi pertama," kata Suzanne Staggs, Direktur ACT dan peneliti dari Universitas Princeton. "Kami tidak hanya melihat cahaya dan kegelapan, tetapi juga polarisasi cahaya dengan resolusi tinggi, yang membedakan ACT dari teleskop sebelumnya seperti Planck."

Jejak Cahaya Pertama Alam Semesta

Sebelum 380.000 tahun setelah Big Bang, alam semesta adalah tempat yang benar-benar gelap. Pada saat itu, kosmos sangat panas dan padat, penuh dengan plasma yang mengandung elektron bebas yang terus-menerus menyebarkan foton (partikel cahaya), sehingga cahaya tidak bisa bergerak bebas. Hal ini membuat alam semesta tampak buram seperti kabut tebal.

Ketika alam semesta mulai mengembang dan mendingin hingga sekitar 3.000 Kelvin (sekitar 2.700 derajat Celsius), elektron dapat bergabung dengan proton membentuk atom netral pertama, yaitu hidrogen dan helium. Peristiwa ini dikenal sebagai "hamburan terakhir," di mana foton akhirnya bisa bergerak bebas dan alam semesta menjadi transparan. Cahaya pertama inilah yang sekarang kita lihat sebagai CMB, dengan variasi kecil atau "anisotropi" yang menunjukkan fluktuasi kepadatan materi pada saat hamburan terakhir terjadi.

Dari posisinya di Pegunungan Andes, Chili, ACT berhasil menangkap cahaya yang telah melakukan perjalanan selama lebih dari 13 miliar tahun. Sebelumnya, gambar paling akurat tentang CMB berasal dari teleskop luar angkasa Planck. Namun, menurut Sigurd Naess dari Universitas Oslo, ACT memiliki resolusi lima kali lebih tinggi dari Planck dan lebih sensitif, sehingga memungkinkan pengamatan polarisasi dengan lebih jelas dan mencakup area langit yang lebih luas dibandingkan teleskop lain.

Perjalanan Menelusuri Waktu Kosmis

Pengamatan ini mengungkap alam semesta yang dapat diamati membentang hampir 50 miliar tahun cahaya ke segala arah. Massa total alam semesta diperkirakan setara dengan sekitar 2 triliun triliun matahari. 

Dari jumlah ini, hanya 100 "zetta-matahari" yang terdiri dari materi biasa yang kita lihat sehari-hari, dengan tiga perempatnya berupa hidrogen dan seperempatnya helium. Sementara itu, 500 zetta-matahari massa berasal dari materi gelap, dan 1.300 zetta-matahari massa berasal dari energi gelap yang mempercepat ekspansi alam semesta.

Neutrino, partikel tak bermuatan dan hampir tanpa massa, menyumbang sekitar empat zetta-matahari dari total massa alam semesta. Partikel ini begitu lemah berinteraksi sehingga sekitar 100 triliun neutrino melewati tubuh kita setiap detik tanpa kita sadari.

Penemuan ini juga memperkuat perkiraan usia alam semesta yang tetap di angka 13,8 miliar tahun dengan tingkat ketidakpastian hanya 0,1%. Dengan mempelajari gelombang yang merambat di awal alam semesta, para ilmuwan dapat menentukan laju ekspansi alam semesta di masa-masa awalnya.

Menyelesaikan Masalah "Hubble Tension"

Salah satu tantangan utama dalam kosmologi adalah perbedaan dalam pengukuran konstanta Hubble, yang menentukan laju ekspansi alam semesta. Pengukuran berdasarkan gerakan galaksi-galaksi terdekat menunjukkan nilai 73-74 km/s/Mpc, lebih tinggi dari nilai 67-68 km/s/Mpc yang diperoleh dari CMB.

Tim ACT menggunakan citra resolusi tinggi ini untuk menghitung kembali konstanta Hubble dan menemukan bahwa hasilnya selaras dengan pengukuran sebelumnya dari CMB. Mereka juga meneliti kemungkinan model kosmologi alternatif yang dapat menjelaskan perbedaan ini, termasuk perubahan perilaku neutrino dan fase tambahan ekspansi cepat di awal alam semesta. Namun, data ACT tidak menunjukkan bukti yang mendukung hipotesis tersebut, yang mengindikasikan bahwa model standar kosmologi tetap menjadi teori paling akurat.

"Kami sedikit terkejut bahwa kami tidak menemukan bukti yang mendukung nilai ekspansi yang lebih cepat," kata Staggs. "Kami berharap ada petunjuk kecil yang bisa menjelaskan ketegangan Hubble, tetapi data kami tidak menunjukkan hal itu."

Masa Depan Observasi Kosmos

ACT menyelesaikan misinya tahun 2022 dan kini para astronom beralih ke Observatorium Simons, yang lebih canggih dan terletak di lokasi yang sama di Cile. Data ACT yang dipublikasikan tersedia di arsip LAMBDA NASA, sementara makalah ilmiahnya dapat diakses melalui situs web resmi Atacama Cosmology Telescope Universitas Princeton.

Dengan teknologi observasi yang semakin maju, kita mungkin akan segera memperoleh pemahaman yang lebih dalam tentang asal-usul dan evolusi alam semesta, serta menyibak lebih banyak misteri yang masih tersimpan di bentangan kosmos yang luas. (Space/Z-2)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |