
UJIAN Masuk Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (UM PTKIN) 2025 kembali digelar serentak di seluruh Indonesia dengan sistem daring melalui Sistem Seleksi Elektronik (SSE). Ujian ini merupakan tahapan penting bagi calon mahasiswa yang ingin menempuh pendidikan tinggi di kampus-kampus Islam negeri yang tersebar di seluruh nusantara.
Hal yang menarik dan patut diapresiasi dari penyelenggaraannya tahun ini adalah adanya komitmen kuat terhadap prinsip inklusifitas dan aksesibilitas, yang memungkinkan peserta berkebutuhan khusus atau difabel mengikuti ujian dengan lancar dan penuh kenyamanan.
UM PTKIN 2025 tidak hanya fokus pada aspek seleksi akademik semata, namun juga menunjukkan keberpihakan pada nilai-nilai keadilan sosial dan keberagaman.
Ketua Panitia Nasional UM PTKIN 2025, Masnun Tahir, menjelaskan bahwa sejak awal pihaknya telah menaruh perhatian khusus terhadap keterlibatan peserta difabel dalam proses seleksi ini.
“Kami di panitia nasional tidak hanya menyusun sistem ujian yang berkualitas, tetapi juga memastikan bahwa semua pihak, termasuk peserta difabel memiliki ruang yang sama untuk berjuang meraih impian mereka. Oleh karena itu, kami secara tegas mengarahkan panitia lokal di seluruh titik lokasi ujian untuk menyiapkan sarana dan prasarana yang ramah difabel,” ungkapnya dilansir dari keterangan resmi, Rahu (11/6).
Arahan ini dijalankan dengan baik oleh panitia lokal, yang di berbagai daerah telah menyediakan ruang ujian khusus, pendamping teknis, serta perangkat ujian seperti komputer yang disesuaikan kebutuhan, pengaturan posisi duduk yang ergonomis, dan aksesibilitas fasilitas gedung.
Bahkan di beberapa titik, disiapkan juga pendamping khusus bagi peserta tunanetra atau tunarungu agar mereka dapat memahami prosedur teknis dengan baik tanpa mengganggu independensi menjawab soal.
Salah satu peserta difabel yang mengikuti ujian di salah satu titik lokasi di Kalimantan Timur menyampaikan kesan positifnya. “Saya awalnya khawatir karena belum pernah ikut ujian berbasis komputer seperti ini. Tapi ternyata semuanya berjalan baik. Saya diarahkan dengan sabar, ruangannya tenang, dan panitianya sangat membantu,” kata dia.
Ia juga menyebutkan bahwa pengalaman mengikuti UM PTKIN membuatnya semakin yakin untuk melanjutkan pendidikan tinggi di kampus Islam negeri, yang menurutnya menunjukkan empati dan keberpihakan pada semua kalangan.
Filosofi pendidikan Islam yang menjunjung tinggi nilai keadilan (‘adl), tanggung jawab (khilafah), dan kasih sayang (rahmah) menjadi dasar penting mengapa PTKIN terus bergerak menjadi kampus yang ramah difabel. UM PTKIN 2025 bukan hanya sekadar seleksi masuk, tetapi juga menjadi simbol komitmen PTKIN dalam memberikan akses pendidikan kepada siapa saja, tanpa diskriminasi.
“PTKIN tidak boleh menutup diri dari siapa pun yang ingin belajar. Justru sebagai institusi pendidikan Islam, kita harus menjadi contoh dalam hal keberpihakan terhadap kelompok rentan, termasuk difabel. Kampus kita adalah rumah bersama,” tegas Masnun.
Dengan partisipasi peserta difabel yang berjalan lancar, UM PTKIN 2025 menjadi bukti nyata bahwa penyelenggaraan pendidikan tinggi dapat diarahkan ke arah yang lebih berkeadilan, humanis, dan inklusif. Semua pihak, dari panitia nasional hingga lokal, menunjukkan sinergi dalam mewujudkan proses seleksi yang tak hanya berkualitas, tapi juga beretika.
Penyelenggaraan ini menjadi bukti bahwa PTKIN bukan hanya tempat belajar ilmu agama, tapi juga laboratorium nilai-nilai Islam dalam kehidupan nyata termasuk nilai-nilai kesetaraan dan penghargaan terhadap sesama manusia.