
Proses mempertemukan pelaku usaha atau business matchmaking dianggap menjadi jurus ampuh bagi Indonesia untuk bisa keluar dari jebakan pendapatan menengah atau middle income trap. Selain memiliki kekayaan sumber daya alam yang besar, Indonesia sedang menikmati bonus demografi, yakni kondisi ketika jumlah penduduk usia produktif berada pada puncaknya. Namun tanpa pengelolaan yang cermat dan pendekatan inovatif, potensi tersebut justru berisiko menjadi beban. Kondsi ini menjadi benang merah buku The Matchmaker karya Erwin Suryadi, yang dibedah dalam diskusi di Jakarta, Sabtu (31/5).
Buku ini mengangkat fenomena dan tantangan yang menghambat langkah Indonesia untuk keluar dari middle income trap, sekaligus menawarkan solusi berbasis kolaborasi lintas sektor melalui pendekatan yang disebut business matchmaking.
“Bonus demografi tidak akan berarti jika kita tidak menciptakan ekosistem yang mampu menyerap dan memberdayakan talenta lokal. Kita memerlukan pendekatan yang lebih dari sekadar mempertemukan supply and demand,” ujar Erwin dalam keterangan resmi.
Ia memaparkan konsep business matchmaking ialah pendekatan ekosistem yang mendorong kolaborasi jangka panjang antara pelaku industri besar, pabrikan lokal, usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM), dan lembaga pendidikan. Pendekatan ini menekankan pendampingan yang memacu peningkatan kualitas produk (quality), efisiensi biaya (price), dan ketepatan pengiriman (delivery).
Erwin mengungkapkan gagasan business matchmaking merujuk pada pemikiran begawan ekonomi Soemitro Djojohadikusumo, yang menolak persaingan bebas secara mutlak di negara berkembang. Dalam pandangan Soemitro, pasar tidak akan bekerja adil tanpa kehadiran negara sebagai pengatur dan pelindung pelaku ekonomi lokal.
"Prinsip ini sejalan dengan business matchmaking, yang menuntut peran aktif dan memberikan mandat kepada pelaku industri besar untuk ikut membina pelaku lokal agar mampu bersaing secara sehat dan setara,” jelas Erwin.
Konsep tersebut, lanjutnya, telah diterapkan di sektor hulu minyak dan gas bumi melalui Forum Kapasitas Nasional, yang digagas SKK Migas sejak 2021. Pengalaman di sektor hulu migas menunjukkan, ketika pelaku industri skala besar bersedia membina dan mempercayai pelaku lokal, hasilnya luar biasa.
"Banyak pabrikan dalam negeri yang ternyata mampu bersaing di tingkat global,” terang Erwin.
Salah satu pelaku industri yang terlibat langsung dalam proses ini adalah Harris Susanto, Direktur Utama PT Luas Birus Utama. Perusahaannya kini menjadi salah satu pemasok komponen industri hulu migas yang produknya menembus pasar ekspor di Timur Tengah.
“Kalau bukan kita yang mempercayai produk anak bangsa, siapa lagi? Tapi kepercayaan itu harus dibarengi standar kualitas dan komitmen. Pendekatan business matchmaking di Forum Kapasitas Nasional memberikan ruang dan arah agar kami bisa tumbuh,” ujarnya.
Sementara itu, Manajer Project & Sourcing Operation Petronas Carigali Iraq Holding BV Fery Sarjana yang turut hadir dalam diskusi mengatakan, keberhasilan business matchmaking terletak pada kesediaan semua pihak terlibat secara aktif dan konsisten. Selama ini UMKM atau pabrikan lokal dikatakan sering merasa sendirian menghadapi tuntutan industri besar.
"Dengan pendekatan business matchmaking, mereka tidak hanya diberi peluang, tetapi juga ditunjukkan jalannya,” tutup Fery. (E-3)