
PENANGGULANGAN terorisme tidak bisa dilakukan dengan cara-cara militer. Peran serta berbagai pihak sangat dibutuhkan, termasuk kampus, untuk melakukan langkah-langkah pencegahan, contohnya dalam kasus Jemaah Islamiyah (JI).
Kasubdit Kontra Naratif Direktorat Pencegahan Densus 88, AKBP Mayndra Eka Wardhana, yang mewakili Kepala Densus 88 Polri, mengajak civitas Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Jogja untuk melakukan penelitian secara mendalam tentang terorisme. JI menjadi contoh kasus yang menarik untuk diteliti.
“JI ini satu-satunya kelompok teror yang membubarkan diri. Ini bisa menjadi inspirasi bagi kelompok-kelompok teror lainnya, bahkan di dunia,” jelas Mayndra saat menjadi salah satu pembicara dalam bedah buku JI The Untold Story di UNU Jogja, Rabu (4/6).
Pembubaran JI, lanjut dia, melalui proses panjang, antara lain lewat pendekatan dengan tokoh-tokoh sentralnya, diskusi yang kontinyu, hingga pembelajaran yang lebih mendalam tentang Islam, terutama kaidah fikih. “Kami juga melakukan komunikasi dari hati ke hati hingga akhirnya JI bubar. Kami shockingly happy, kaget tapi sekaligus gembira,” kata Mayndra.
Hal lain yang patut diwaspadai adalah ajakan-ajakan untuk bergabung dengan aktivitas terorisme melalui media digital, misalnya melalui media sosial. Contohnya, pada 24 Mei 2025, seorang siswa dengan inisial MAS (18) asal Gowa, Sulawesi Selatan, ditangkap Densus 88 karena menyebarkan konten tentang ISIS serta ajakan mengebom rumah ibadah.
FASE PENTING
Pengamat terorisme asal Australia, Prof Greg Barton menyampaikan, pendekatan kekuatan militer tidak akan menjadi solusi untuk mengatasi aksi terorisme. "Untuk mencegah terorisme, Polri harus bekerja sama dengan masyarakat dan civil society seperti NU," kata Greg.
Contoh kasusnya ada dalam, Jemaah Islamiyah (JI), yang kemudian membubarkan diri. Rektor Deakin Lancaster University mengamati perkembangan JI, terutama sejak Bom Bali 2002 hingga akhirnya membubarkan diri.
Pembubaran diri kelompok radikal-teroris terbesar di Asia Tenggara ini pun menjadi fase penting yang menandai surutnya gerakan dan aksi terorisme di Indonesia.
Amir terakhir Jemaah Islamiyah, Ustaz Para Wijayanto pun menceritakan alasan JI kemudian membubarkan diri. Mereka meneliti ulang segala tindakan yang dilakukan anggota JI, termasuk tindakan ekstrem dan mengkafirkan sesama muslim di luar kelompok JI. Mereka pun berkesimpulan, Negara Islam adalah washilah (sarana), bukan ghoyah (tujuan).
"Jika ada negara yang tidak menformalkan Islam, tapi bisa mengantarkan menuju Islam kaffah, kami akan terima," kata dia. Hingga akhirnya pada 30 Juni 2204 , JI sepakat membubarkan diri.
Buku JI The Untold Story: Perjalanan Kisah Jemaah Islamiyah membedah secara komprehensif sejarah panjang organisasi tersebut, beserta ulasan tentang tokoh-tokoh dan ideologinya, hingga akhirnya membubarkan diri pada 30 Juni 2024. Buku ini ditulis oleh Kepala Densus 88 Anti Teror Polri, Irjen Sentot Prasetyo
KEBERHASILAN DENSUS
Pelaksana Harian Rektor UNU Jogja Suhadi Cholil menyebut, di balik nihilnya aksi teror sepanjang 2023-2024, ada keberhasilan Detasemen Khusus (Densus) 88 Anti Teror Polri. “Ini artinya ada keberhasilan Densus 88 dan badan-badan lain untuk mencapai zero act of terror,” terang dia.
"Pertanyaan yang lebih mendasar, apakah seiring pembubaran JI, hilang pula ideologi kekerasan dan teror?" tanya dia.
Berdasarkan riset yang pernah dia lakukan, ide tentang kekerasan dan aksi teror ternyata masih ada pada sejumlah kelompok. “Meski aksi-aksi teror bisa diprevensi, gagasan terorisme tidak serta merta hilang,” kata dia.
Untuk itu, berbagai pihak perlu memberikan dukungan guna mencegah munculnya kembali kelompok-kelompok radikal yang melakukan aksi teror. “UNU Jogja yang berada di bawah naungan NU, organisasi Islam terbesar di Indonesia dan toleran, siap berkolaborasi,” tandas Suhadi. (E-2)