Bonus Demografi Datang dengan Persyaratan

8 hours ago 6
Bonus Demografi Datang dengan Persyaratan (MI/Seno)

DI negeri ini, waktu tampak sedang berbaik hati. Jumlah penduduk usia produktif saat ini berada dalam puncaknya, sebuah fase yang oleh para ahli disebut sebagai bonus demografi. Banyak yang menyambutnya dengan gegap gempita, menyebutnya sebagai peluang langka, sebagai pintu emas menuju Indonesia maju. Namun, di balik janji manis angka statistik itu, ada tantangan besar tersembunyi yang kerap luput dari wacana publik. Tulisan ini bukan untuk menghapus optimisme, melainkan untuk memperluas kesadaran. Itu karena hanya bangsa yang menyadari tantangannya yang mampu menata masa depannya.

Bonus demografi kerap kita anggap sebagai berkat otomatis, seolah hadirnya usia produktif dalam jumlah besar akan langsung mengantar kita pada kesejahteraan. Padahal kenyataannya tidak sesederhana itu. Usia produktif bukan jaminan produktivitas. Banyak di antara generasi muda hari ini justru berada dalam tekanan luar biasa. Tekanan untuk sukses, untuk menopang ekonomi keluarga, untuk menghadapi ketidakpastian pekerjaan, sekaligus menata masa depan dalam ruang hidup yang kian mahal. Yang terlihat ialah angka. Yang tersembunyi adalah kelelahan kolektif.

Dalam suasana itu, generasi ini diharapkan menjadi penopang kemajuan, tapi sering kali dilupakan bahwa mereka juga manusia biasa yang butuh ruang untuk bernapas, bukan sekadar bekerja. Maka itu, jangan heran bila di balik kata produktif justru tumbuh fenomena sunyi seperti kelelahan psikis, gangguan mental, dan rasa hampa di tengah hiruk pikuk digital. Bonus itu bisa menjelma menjadi ilusi bila kita hanya bicara kuantitas, bukan kualitas kehidupan.

Kita juga sedang menyaksikan pergesekan yang makin terasa antara generasi yang lama dan yang muda. Aspirasi generasi muda hari ini tidak sama dengan generasi sebelumnya. Mereka tumbuh dalam dunia digital, dunia terbuka, dunia yang menuntut transparansi, kecepatan, dan kolaborasi. Namun, ruang pengambilan keputusan masih dikendalikan oleh logika dan kultur lama yang pelan, eksklusif, dan hierarkis. Ketika ide-ide segar terhenti di tembok birokrasi, bukan hanya gagasan yang mati, melainkan juga semangat untuk percaya.

Jika kita terus membiarkan jarak itu melebar, akan lahir dua generasi yang bicara dalam bahasa yang berbeda. Satu bicara mempertahankan, satu bicara melampaui. Satu bicara stabilitas, satu bicara transformasi. Ketika dialog itu tak terjadi, lahirlah sinisme terhadap institusi. Bonus demografi berubah menjadi jurang aspirasi.

Bonus itu juga mendorong mobilitas manusia. Desa ditinggalkan, kota diserbu. Namun, kota-kota menengah kita tidak sempat tumbuh dengan rencana matang, tetapi dengan kepanikan.

Infrastruktur kewalahan, layanan publik terseok, ruang tinggal makin sempit. Di balik pertumbuhan kota-kota tersebut, muncul wajah baru ketimpangan kelompok muda yang bekerja, tapi hidup dalam zona abu-abu ekonomi. Mereka bekerja di sektor informal, tanpa jaminan, tanpa proteksi, tanpa kepastian.

Kita menyebut mereka aktif, tapi sejatinya mereka rapuh. Kerentanan itu tersembunyi di balik narasi 'pemuda pekerja keras'. Padahal, sekeras apa pun bekerja, bila sistem tidak memberi perlindungan, yang muncul bukan kesejahteraan, melainkan kelelahan yang disamarkan.

Lebih jauh kita juga perlu bertanya apakah semua anak muda punya kesempatan yang sama? Dunia hari ini makin digital, tapi tak semua terhubung. Ada yang tumbuh dengan akses coding dan pelatihan daring. Namun, ada juga yang masih bergelut dengan sinyal yang putus-putus dan gawai yang harus bergantian. Kesenjangan digital makin nyata. Mereka yang tertinggal dalam literasi digital akan tertinggal pula dalam persaingan.

Karena itu, bonus tersebut bisa memperbesar ketimpangan bila tidak dikelola dengan kesetaraan. Mereka yang 'terkoneksi' akan terbang lebih tinggi. Sementara itu, yang 'terputus' akan makin terdesak, bahkan tertinggal. Itu bukan soal siapa yang rajin, melainkan soal siapa yang diberi pijakan.

Lalu, ancaman terbesar justru datang dari waktu. Bonus itu hanya sementara dan akan berlalu. Dalam dua dekade ke depan, Indonesia akan menua. Ketika saat itu tiba, pertanyaannya bukan lagi soal tenaga kerja, melainkan soal beban pensiun, pelayanan kesehatan, dan keberlanjutan fiskal. Jika sejak sekarang kita tidak membangun sistem jaminan sosial yang kuat, hari esok bisa jadi medan krisis baru.

Karena itu, kita tak boleh melihat bonus demografi hanya sebagai peluang, tetapi juga ujian. Bonus teraebut menantang kita untuk menyiapkan manusia, bukan sekadar menciptakan statistik. Ia menantang kita untuk menghadirkan keadilan, bukan sekadar mengada-adakan pertumbuhan. Maka itu, seperti halnya janji kemerdekaan, bonus demografi juga perlu dilunasi, bukan dengan euforia dan retorika, melainkan dengan kesungguhan.

APA YANG HARUS KITA LAKUKAN?

Pertama, kita perlu menata ulang pendidikan. Bukan hanya dari sisi kurikulum, melainkan juga dari relevansinya terhadap dunia yang sedang berubah. Pendidikan harus menjadi alat pemberdayaan yang membekali anak muda dengan literasi, kreativitas, pikiran kritis, integritas, dan keberanian mengambil peran.

Kedua, kita perlu membangun sistem ekonomi yang memberi ruang tumbuh bagi yang kecil. Kredit, pelatihan, akses pasar, dan perlindungan dari kutipan liar harus menjadi hak, bukan kemewahan. Mereka yang mau bekerja harus diberi pijakan untuk naik kelas.

Ketiga, kita perlu membuka ruang bagi partisipasi anak muda dalam pengambilan keputusan dengan tetap mengutamakan meritokrasi, bukan koneksi. Anak muda bukan hanya pewaris masa depan, melainkan juga penentu hari ini. Libatkan mereka, dengarkan mereka, percayakan peran kepada mereka.

Keempat, kita perlu menghadirkan sistem jaminan kesehatan yang fungsional, menjangkau, melindungi, utuh, dan berkelanjutan. Sebuah universal health care yang menekankan layanan promotif dan preventif serta memastikan pasien lansia ditangani secara menyeluruh, bermartabat, dan manusiawi. Tentu dengan skema pembiayaan yang adil dan efisien serta iuran yang proporsional.

Akhirnya, mari kita tetap menyalaterangkan optimisme. Jangan menutup mata pada tantangan, tapi juga teruskan membuka hati pada harapan. Bonus demografi ini bukan soal siapa yang muda dan siapa yang tua, tetapi soal keberanian bersama untuk menyiapkan masa depan dengan sadar, dengan adil, dan dengan kerja nyata.

Itu karena masa depan bukan datang dengan sendirinya. Ia dibentuk, ditata, dan dirancang hari ini. Maka itu, mari kita siapkan, mari kita rawat, dan mari kita menangkan. Di tangan anak muda negeri ini, janji Indonesia bisa ditepati untuk semua.

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |