
INDONESIA kehilangan 4% kelas menengah meskipun mereka berkontribusi terhadap 80% konsumsi. Untuk sektor riil di ritel, pertumbuhan ekonomi 5% tidak cukup mendukung perputaran perdagangan, apalagi ditambah inflasi yang tinggi sejak 2022.
Yongky Susilo, Retail & Consumer Strategist dalam paparannya berjudul "Market Outlook 2025: Ancaman dan Peluang" dalam acara Kopdar Kamajaya Business Club (KBC) Jakarta dan sekitarnya, Sabtu (22/2/2025) di Jakarta mengatakan fenomena “Mantab” yang terjadi di kelas bawah dan menengah sejak Q423, mengindikasikan daya beli yang melemah. "Hal ini disebabkan inflasi barang konsumsi lebih tinggi daripada pertumbuhan pendapatan.Kelas atas cenderung menahan pengeluaran, dan terus mengumpulkan tabungan sejak 2024,"ungkap Managing Director CRSC.
Yongky mengutip data Bank Dunia, BPS menyebut terjadi ledakan populasi kelas menengah sebesar 131 juta, tumbuh 7 juta per tahun 25% di tahun1999 dan meningkat 56,5% di tahun 2010.
Pertumbuhan penjualan sektor ritel dirasakan lemah sejak 2023 akibat kenaikan BBM, inflasi dan masa wait and see dampak Pemilu,” ungkap Yongky, beberapa waktu lalu di Jakarta.
“Jadi jika konsumsi masyarakat dan pengusaha melemah, ini akan berakibat langsung pada angka pertumbuhan ekonomi nasional,” terang Yongky.
Meski begitu, Ia memaparkan data, bahwa di 2030 Indonesia berpeluang masuk dalam consumer boom kedua. Dimana GDP per kapita berpotensi meningkat dari 5.000 USD ke 10.000 USD, akibat peningkatan signifikan dari hilirisasi dan investasi tinggi dari luar atau dalam negeri.
“Era of plenty ini akan memberikan dampak besar akan terbentuknya kelas menengah yang baru, yang lebih tinggi daya belinya, yaitu kelas menengah yang tengah,” katanya serius. Ia pun mengakui, pemerintah telah fokus selama 10 tahun terakhir membangun infrastruktur untuk pertumbuhan Indonesia yang lebih tinggi. Yaitu sektor energy, jalan tol, pelabuhan, Listrik, air, dan sebagainya.
Namun menariknya, selama sepuluh tahun ini GDP per kapita Indonesia hanya bergerak dari 4.000 USD ke 5.000 USD. Sehingga mengakibatkan pelemahan kelas menengah, yang dulu terbentuk di era tahun 2000-2010.
Kelas menengah ini menuntut kenyamanan, berpendidikan dan kaum perempuan bekerja. Suka dengan kenyamanan ritel modern, produk dan layanan yang hemat dan memilih waktu makan di luar rumah yang hemat.
Pelaku Bisnis Perlu Waspada
Dalam kesempatan yang sama, pengusaha yang juga Ketua Kamajaya Bisnis Club, Fransiscus Go menambahkan krisis kelas menengah di Indonesia bisa dilihat dari beberapa aspek, baik ekonomi, sosial, maupun politik.
Lebih lanjut Frans Go mengatakan tantangan utama yang dihadapi kelas menengah Indonesia:
Pertama, Indonesia berada dalam risiko terjebak di middle income trap, di mana pertumbuhan ekonomi melambat setelah mencapai pendapatan menengah tanpa mampu naik ke tingkat pendapatan tinggi. "Kelas menengah menjadi kelompok yang paling merasakan dampaknya karena keterbatasan akses pada pekerjaan berkualitas tinggi, stagnasi upah yang tidak sebanding dengan kenaikan biaya hidup, minimnya inovasi dan produktivitas di sektor industri dan jasa,"ungkap Frans Go.
Frans Go mengingatkanpelaku bisnis yang tergabung dalam KBC agar memiliki kewaspadaan tinggi dan melakukan berbagai adjustment untuk menyesuaikan bisnisnya atau skill kerja atau produksi usahanya yang adaptif dengan situasi tersebut.
Frans Go memberikan solusi untuk mengatasi krisis kelas menengah ini bisa dimulai dengan meningkatkan kualitas pendidikan dan pelatihan keterampilan, mendorong kewirausahaan dan inovasi, memberikan insentif bagi UMKM dan ekonomi kreatif serta memperbaiki kebijakan ekonomi yang berpihak pada kelas menengah.
Perilaku Konsumen
Di bagian lain Yongky menggambarkan perilaku konsumen saat sebelum pandemi covid-19, Pandemi dan sesudah pandemi covid-19. Sebelum covid, konsumen suka berbelanja secara luring, bepergian, aktif berolahraga dan makan di luar. Selama covid-19 semua aktivitas seperti belanja melalui daring sosial virtual terbatas online. Bekerja secara WFH.
Sesudah covid-19, konsumen kembali normal seperti sebelum pandemi. Kembali normal seperti sebelum covid-19. Covid-19 tidak cukup merubah kebiasaan.
Ini menyebabakan e-commerce (pangsa < 5%) juga turun dibandingkan dengan Desember 2022, total kunjungan kelima platform tersebut mengalami penurunan sebesar 68,8 juta kunjungan atau-14,68%.
Pada Desember 2022, Shopee masih menerima 191,6 juta kunjungan, namun pada Maret 2023 jumlahnya menurun menjadi 159 juta.
Tokopedia, Blibli, dan Bukalapak juga mengalami penurunan kunjungan, sedangkan Lazada mengalami peningkatan sebesar 1,1 juta kunjungan menjadi 84,3 juta pada Maret 2023.
"Tidak semua ide global digital berhasil di Indonesia," ujar Yongky.
Fenomena “Mantab” yang terjadi di kelas bawah dan menengah sejak Q423, mengindikasikan daya beli yang melemah. Hal ini disebabkan inflasi barang konsumsi lebih tinggi daripada pertumbuhan pendapatan. Kelas atas cenderung menahan pengeluaran, dan terus mengumpulkan tabungan sejak 2024. Saldo rata-rata deposito <100 jt drop 50%
"Saat krisis, penurunan harga memang terjad tapi itu selalu sementara. Konsumen beralih ke kemasan yang lebih kecil. Beralih ke merek yang lebih murah. Belanja dengan jumlah. Belanja lebih jarang. Konsumen akan melakukan perdagangan setelah pemulihan,"kata Yongky.
Lebih lanjut Yongky memaparkan proyeksi pertumbuhan PDB 2025 menurut: Bank Dunia 5,1%, IMF 5,1%, ADB 5,0%. Pertumbuhan PDB 2000-2010 berada di atas 6% - 7%, sedangkan pertumbuhan 2010-2024 hanya sekitar 5%.
Yongky menyarakan agar Judi Online yang mencapai 900T harus dihentikan.
Dengan inflasi pangan, bagi kelas bawah, belanja kebutuhan pokok meningkat tiga kali lipat sementara bagi kelas menengah, belanja kebutuhan pokok meningkat dua kali lipat.
Kemudian menciptakan lapangan pekerjaan, kemudahan dalam hal perijinan untuk sektor swasta. Pungli, preman, operasi lapangan yang menyebabkan ekonomi berbiaya tinggi mesti dihilangkan. Terkait pajak di mana margin usaha semakin tipis (kompetisi dan cost naik) ini menyebabkan SME tidak punya kemampuan mengurus pajak.
Berbagai macam tarif diberlakukan membuat daya beli semakin turun, volume perdagangan semakin turun. Kemudian stop impor ilegal karena produk impor ilegal yang masuk pasar mematikan produk lokal yang berimbas langsung pada usaha legal yang membayar pajak (mematikan pabrik, phk karyawan, menutup usaha). Produk impor legal menjadi macet, mengakibatkan kenaikan harga atau kelangkaan produk mengakibatkan usaha turun atau tutup. (H-2)