
HARI Bumi, 22 April, adalah momen global untuk meningkatkan kesadaran dan refleksi kondisi lingkungan yang terancam aktivitas manusia. Banjir, yang kerap menimpa ibu kota misalnya, merupakan konsekuensi nyata kerusakan lingkungan akibat alih fungsi lahan dan tata ruang buruk.
Selama ini, fenomena banjir di Jakarta sering dikaitkan dengan kiriman air dari Bogor. Benarkah demikian?
Guru Besar IPB University dari Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) Prof Etty Riani menjelaskan anggapan banjir Jakarta semata-mata disebabkan oleh kiriman dari Bogor adalah penyederhanaan masalah yang kompleks, namun kurang tepat.
"Memang betul, air dari Bogor berkontribusi terhadap volume air di sungai-sungai yang melintasi Jakarta. Namun, faktor-faktor internal Jakarta juga memiliki peran yang juga cukup signifikan," ujarnya.
MI/HO--Guru Besar IPB University dari Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) Prof Etty Riani
Lebih lanjut, ia mengingatkan bahwa secara geografis, Jakarta merupakan dataran rendah yang apabila dilihat dari jenis tanahnya merupakan tanah rawa. Nama-nama daerah seperti Rawamangun menjadi saksi sejarah akan kondisi tersebut.
Rawa merupakan ruang terbuka biru (RTB) alami yang berfungsi untuk menampung air.
"Alih fungsi lahan rawa menjadi lahan terbangun (bangunan) menghilangkan fungsi penampungan alami ini, menyebabkan ketika terjadi hujan dengan curah hujan tinggi dan lama, air lebih mudah meluap dan memicu banjir," ungkapnya.
Peran Tata Ruang Bogor dan Dampak Pembangunan
Di lain sisi, dosen Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan (MSP) IPB University ini juga menyoroti perubahan signifikan ruang terbuka hijau (RTH) di sejumlah wilayah di Bogor menjadi kawasan terbangun seperti hotel, tempat wisata, vila, perumahan, dan sebagainya.
"Seharusnya, RTH berfungsi menyerap air hujan ke dalam tanah. Namun, dengan berkurangnya RTH, air hujan langsung melimpas (run-off) ke sungai dan bergerak menuju hilir, termasuk Jakarta," paparnya.
Prof Etty menegaskan, pembangunan yang mengubah RTH menjadi ruang terbangun secara langsung meningkatkan limpasan air permukaan ke sungai, yang kemudian mengalir ke Jakarta.
Tata ruang yang tidak terpadu antara hulu dan hilir, diperparah dengan otonomi daerah yang terkadang menimbulkan ego sektoral. Hal ini, sebut dia, menjadi tantangan tersendiri dalam pengelolaan banjir yang holistik.
Faktor Lokal Jakarta tidak Bisa Diabaikan
Prof Etty Riani mengatakan, faktor-faktor lokal di Jakarta memegang peranan yang sangat signifikan.
Andai Jakarta memiliki sistem drainase yang baik, tata ruang kota yang tertib, RTH dan RTB yang terpelihara dengan baik dan alih fungsi lahan tidak masif; daya dukung dan daya tampung kota akan lebih baik. Bahkan dengan hujan deras di Bogor, banjir masih mungkin dikendalikan.
"Namun, dalam kondisi saat ini, hujan lokal dengan intensitas tinggi yang berlangsung relatif tidak lama lama pun dapat memicu genangan signifikan bahkan banjir di Jakarta," ungkap Prof Etty yang pernah meraih Gakkum Awards 2024 ini.
Efektivitas Upaya Mitigasi di Bogor
Menurut Guru Besar IPB University ini, pembangunan bendungan adalah langkah yang sangat baik. Selain berfungsi menahan air dan mengurangi risiko banjir di hilir, bendungan juga berperan penting dalam konservasi air tawar, terutama untuk persediaan di musim kemarau.
Hanya saja, ia beranggapan normalisasi sungai bukanlah solusi yang baik. Normalisasi sungai mengubah alur sungai yang tadinya berkelok-kelok menjadi lurus. Pelurusan sungai yang berkelok dinilainya dapat mempercepat aliran air ke hilir dan berpotensi meningkatkan risiko banjir di hilirnya.
"Saya percaya Tuhan menciptakan sungai dengan alur terbaiknya. Berkelok-kelok memiliki maksud, yaitu memperlambat aliran air sehingga waktu tempuh air menjadi lebih lama dan kekuatan serta daya rusaknya berkurang," tutur dia.
Selain itu, lanjutnya, normalisasi sungai juga dikhawatirkan dapat menimbulkan dampak negatif terhadap kelestarian sumberdaya hayati pada ekosistem sungai.
Rekomendasi Solusi Komprehensif
Sebagai solusi jangka panjang, Prof Etty menekankan pentingnya pendekatan yang komprehensif, holistik, dan terpadu antarwilayah dalam satu daerah aliran sungai (DAS).
Pembangunan bendungan yang tepat, pengembalian fungsi RTH dan RTB sesuai tata ruang, kajian daya dukung dan daya tampung yang ketat terhadap pembangunan fisik, serta pengelolaan terpadu antar kabupaten, kota bahkan provinsi dalam satu DAS yang sama, adalah kunci untuk mengatasi masalah banjir ini secara berkelanjutan.
"Persoalan penanganan banjir Jakarta memerlukan kerja sama dan pemahaman yang mendalam akan berbagai faktor penyebab, baik dari hulu maupun hilir, serta implementasi solusi yang terintegrasi dan berkelanjutan," pungkasnya. (Z-1)