(Dok. Pribadi)
PADA 28 Oktober 1928, para pemuda dari berbagai penjuru Nusantara mengikrarkan sebuah janji bersama. Di antara tiga ikrar yang mereka kumandangkan, satu kalimat masih terus menggema hingga hari ini, setelah 96 tahun kemudian: “Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.” Kalimat itu bukan hanya simbol retoris, melainkan juga batu pijakan dalam membentuk identitas nasional kita.
Bahasa Indonesia, yang kala itu baru puluhan tahun digunakan secara terbatas, dipilih secara sadar sebagai bahasa pemersatu di tengah lebih dari 700 bahasa daerah yang hidup di Tanah Air.
Sejak saat itu, bahasa Indonesia menjelma menjadi bahasa administrasi, pendidikan, hukum, media, dan kehidupan sehari-hari masyarakat perkotaan. Ia menyatukan kita yang berbeda-beda. Namun, dalam gemuruh semangat itu, ada satu pertanyaan yang makin relevan hari ini: bagaimana nasib bahasa-bahasa ibu (bahasa daerah) yang dulu justru menjadi titik berangkat dari kebinekaan kita?
DARI TEORI YANG IDEAL KE REALITAS YANG PAHIT
Konteks di mana pertanyaan ini paling kritis adalah pendidikan anak usia dini. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa anak-anak belajar paling efektif melalui bahasa yang mereka kenal dan gunakan di rumah. UNESCO dalam laporan Education in a Multilingual World (2003) menegaskan bahwa pendidikan awal yang menggunakan bahasa ibu memiliki dampak positif terhadap perkembangan kognitif dan emosional anak.
Dalam konteks Indonesia, itu berarti ribuan anak di berbagai pelosok negeri sesungguhnya lebih siap belajar dalam bahasa daerah mereka jika dibandingkan dengan Bahasa Indonesia yang mungkin baru mereka dengar saat memasuki gerbang sekolah dasar.
Namun, kenyataannya, bahasa daerah di ruang kelas hanya hadir dalam pelajaran muatan lokal--dan sering kali hanya formalitas semata. Bahasa Indonesia langsung digunakan sebagai bahasa pengantar utama, tanpa mempertimbangkan kesiapan linguistik anak.
Ironisnya, banyak anak belum menguasai bahasa Indonesia secara baik. Akibatnya, pembelajaran menjadi sulit dicerna. Anak menjadi bingung memahami instruksi guru, konsep-konsep dasar matematika dan sains gagal tertanam dalam pikiran mereka, dan yang terpenting, fondasi logika berpikir mereka terbangun di atas bahasa asing. Pada akhirnya, kita tidak hanya gagal menguatkan bahasa Indonesia, tetapi juga membiarkan bahasa daerah perlahan memudar.
Padahal, secara kebijakan, ruang untuk penggunaan bahasa ibu sudah dibuka. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bahasa menyatakan bahwa bahasa daerah dapat digunakan sebagai bahasa pengantar dalam pendidikan, terutama di jenjang awal, jika anak belum menguasai bahasa Indonesia. Bahkan, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 81A Tahun 2013 yang menjadi lampiran Kurikulum 2013 menganjurkan guru untuk menggunakan bahasa ibu sebagai alat bantu komunikasi di kelas rendah. Kurikulum Merdeka yang baru pun memberikan fleksibilitas lebih besar kepada sekolah untuk mengembangkan pendekatan berbasis konteks lokal, termasuk soal bahasa.
Sayangnya, dalam implementasinya, kebijakan yang tertulis tidak selalu menjelma di ruang kelas. Guru-guru tidak dilatih untuk mengajar secara bilingual atau multilingual. Buku-buku pelajaran hampir seluruhnya berbahasa Indonesia. Penilaian ujian dibuat seragam, tanpa mempertimbangkan latar linguistik peserta didik. Bahkan, dalam budaya sekolah, penggunaan bahasa daerah sering dianggap tidak 'resmi' atau bahkan 'tidak nasionalis'. Kondisi paradoks inilah yang kemudian melahirkan sebuah ruang belajar yang problematik.
BAHASA IBU SEBAGAI JEMBATAN, BUKAN PENGHALANG
Dalam ruang yang problematik itu, yang terjadi kemudian ualah ruang-ruang kelas yang hampa makna. Bahasa yang digunakan tidak menggambarkan dunia anak. Konsep-konsep dasar matematika, sains, atau literasi diajarkan dalam bahasa yang asing, menjadikannya tidak relevan.
Anak-anak tumbuh dalam keterputusan: mereka tidak fasih dalam bahasa daerah mereka, tidak lancar dalam bahasa Indonesia, dan akhirnya tidak tuntas dalam berpikir. Akibatnya, fondasi belajar mereka menjadi rapuh. Persoalan ini bukan soal sentimen lokal vs nasional. Ini soal efektivitas belajar, hak anak atas pendidikan yang bermakna, dan strategi berbangsa dalam jangka panjang.
Jim Cummins (2000), dalam teorinya tentang bilingual education, menyatakan bahwa anak yang memiliki dasar kuat dalam bahasa pertamanya akan lebih mudah dan cepat menguasai bahasa kedua. Artinya, justru melalui bahasa ibu, anak akan lebih siap menyerap Bahasa Indonesia secara utuh. Bahasa ibu ialah jembatan, bukan penghalang. Dengan demikian, menjadikan bahasa ibu sebagai fondasi belajar bukanlah pengingkaran terhadap Sumpah Pemuda, melainkan pengisian maknanya yang paling hakiki.
Kita tentu tidak ingin melihat semangat Sumpah Pemuda tereduksi menjadi sekadar slogan upacara. Janji menjunjung bahasa Indonesia seharusnya dibaca bersamaan dengan semangat menghargai keberagaman bahasa ibu yang menjadi bagian dari jiwa bangsa ini.
Menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan tidak berarti menindas bahasa daerah. Sebaliknya, ketika anak-anak diberi ruang tumbuh dalam bahasa ibunya, mereka akan lebih percaya diri, lebih memahami dunia sekitar, dan lebih siap untuk menyambut Bahasa Indonesia sebagai bahasa bangsa mereka.
MEREKONSTRUKSI MASA DEPAN YANG MULTILINGUAL
Untuk mewujudkan visi tersebut, yang kita butuhkan sekarang ualah kemauan politik dan keberanian kebijakan. Pendidikan berbasis bahasa ibu harus diformalisasi, bukan hanya sekadar anjuran. Guru-guru di daerah perlu dilatih untuk menggunakan pendekatan multilingual. Bahan ajar harus dikembangkan dalam berbagai bahasa lokal. Penilaian belajar harus inklusif dan kontekstual. Yang paling penting, kita perlu mengubah cara pandang: bahwa berbahasa daerah bukan ancaman bagi nasionalisme, melainkan bentuk paling jujur dari cinta terhadap negeri ini.
Kita telah bersumpah menjunjung satu bahasa persatuan. Namun, sumpah itu akan bergaung lebih dalam maknanya bila kita mulai dari tempat yang paling dekat dengan anak-anak kita--bahasa yang mereka dengar sejak lahir, bahasa yang mereka ucapkan kepada ibu mereka, bahasa yang membentuk dunia mereka. Itulah bahasa ibu. Darinya, kita membangun Indonesia.


















































