
MENJELANG tiba waktu bulan Ramadan, masyarakat dari berbagai daerah di Indonesia melakukan berbagai tradisi yang khas. Salah satu tradisi adalah Munggahan. Lalu apa arti munggahan?
Munggahan adalah salah satu tradisi yang berkembang khususnya di Jawa. Tradisi ini ramai dilaksanakan menjelang datangnya bulan Ramadan.
Mengenal tradisi munggahan
Jakob Sumardjo dalam buku “Sunda Pola Rasionalitas Budaya” seperti yang ditulis NU Online, mengungkapkan bahwa munggah dilakukan sebelum bulan Ramadhan sebenarnya mempunyai arti 'naik'. Arti naik ini berkaitan dengan arah di zaman nenek moyang Indonesia.
Pada zaman pra-modern dikenal arah komunikasi dan transportasi yaitu melalui sungai atau pelabuhan. Maka tak heran semua hunian tua di Indonesia selalu berada di dekat air, sungai, dermaga, maupun laut, sehingga di sebagian wilayah Indonesia banyak nama tempat yang berawalan "Ci" atau "Cai" seperti misalnya di Sunda.
Karena sungai menjadi sarana transportasi dan komunikasi yang vital, maka dikenal istilah arah hulu dan hilir, mudik dan muara. Pada waktu dulu, jika orang mengatakan akan mudik berarti akan menuju hulu. Dan kalau mau ke hilir, berarti akan menuju muara. Orang yang menuju ke hulu dapat berarti "naik", "munggah" atau "pulang" ke kampung halamannya. Sedangkan orang yang menuju hilir berarti "pergi", "berangkat", "keluar" menuju tempat perantauan.
Dengan demikian arah hulu lebih bermakna dari pada hilir yaitu kembali ke asal, ke tempat kelahiran. Oleh sebab itu, dalam tradisi munggah dan mudik baik menjelang puasa atau mendekati lebaran, ritual ziarah, bersih desa, nadran, nyekar, mandi di pantai atau sungai, serta mengirim makanan bagi sanak saudara.
Di Indonesia, khususnya di pulau Jawa dan Sunda, munggahan bermakna selalu ingat asal usulnya dan asal usul indungnya. Dalam ungkapan Sunda, Mulih ka Jati Mulang ka Asal (kembali kepada diri sejati atau rumah sejati). Dan ungkapan Jawa Sangkan Paraning Dumadi (memikirkan dari mana kita berasal dan akan kemana kita kembali).
Makna Spiritual
Di Keraton Kanoman, Cirebon, Jawa Barat, tradisi munggahan dimulai seusai pelaksanaan salat Isya jelang Ramadhan. Harian Media Indonesia edisi 17 Mei 2018 menulis, tradisi itu dipimpin Sultan Kanoman Sultan Raja Emirudin. Pengajian dan tawasul digelar di Bangsal Jinem Keraton Kanoman.
Seusai pembacaan ayat suci Alquran dan tawasul untuk arwah leluhur raja-raja dan sultan Kesultanan Kanoman keturunan Sunan Gunung Jati, sang patih Pangeran Raja Mohammad Qodiran memberikan sambutan. Sang patih mengajak masyarakat Kota Cirebon untuk menyambut Ramadan dengan penuh sukacita.
Rektor IAILM Suryalaya periode 2021–2025, Asep Salahudin, dalam sebuah artikel di Harian Media Indonesia edisi 17 Juli 2012, menyebut dalam munggahan terjadi proses interaksi simbolis yang sangat menarik. Orang kota atau mereka yang selama ini mengembara ke wilayah lain pulang ke kampung halaman untuk menjalin silaturahim, saling memaafkan, dan kalau perlu nyekar ke leluhur yang telah lama meninggalkan alam fana.
Asep mengatakan munggahan sebagai metafora untuk menaikkan kualitas jiwa tentu merupakan gugusan kearifan perenial sebagai wujud ekspresi leluhur kita dalam merumuskan dialog antara agama dan budaya.
Munggahan merupakan contoh nyata tentang hal tersebut. Kalau dialihbahasakan ke dalam idiom agama, munggahan menjadi serupa dengan silaturahim. Bahkan, boleh jadi maknanya bukan sekadar silaturahim, melainkan juga memuat 'konsep lain' yang berkaitan dengan nuansa psikologis, atmosfer sosiologis, dan sensitivitas sosial yang tidak cukup kuat kalau hanya diwadahi dengan idiom silaturahim.
"Inilah yang dahulu disebut almarhum Gus Dur sebagai pribumisasi Islam. Islam dengan wajah pribumi lengkap dengan budayanya dianggap penting agar umat tidak kehilangan pijakan kultural. Pribumisasi yang memperkaya agama dan budaya satu sama lain. Islam tumbuh dengan keragaman budaya, tidak monolitik," tulis Asep Salahudin.
Apa yang Dilakukan saat Munggahan?
Kegiatan munggahan bervariasi tergantung pada daerah masing-masing. Umumnya, ada beberapa kegiatan yang dilakukan seperti:
- Makan Bersama : Keluarga dan kerabat berkumpul untuk menikmati hidangan khas daerah masing-masing.
- Saling Memaafkan: Momen ini dimanfaatkan untuk memohon maaf atas kesalahan yang pernah dilakukan kepada orang-orang terdekat.
- Berdoa Bersama: Kegiatan ini dilakukan untuk memohon keberkahan dan perlindungan di bulan Ramadan yang akan datang.
- Ziarah Kubur: Mengunjungi makam leluhur atau orang-orang saleh sebagai bentuk penghormatan.
- Sedekah Munggahan: Memberikan sedekah kepada orang yang membutuhkan sebagai bentuk kepedulian sosial.
(P-4)