
PULUHAN juta tahun yang lalu, wilayah Bandung merupakan lautan. Sekitar 1 juta tahun lalu, pengangkatan kerak bumi mengubahnya menjadi daratan dan memunculkan gunung-gunung api akibat proses subduksi, termasuk Gunung Sunda yang tingginya mencapai 4.000 meter.
Letusan dahsyat Gunung Sunda pada 105.000 tahun yang lalu menghancurkan dua pertiga bagiannya, membentuk kaldera besar seluas 6x8 kilometer. Runtuhnya gunung ini menyebabkan kekosongan kantung magma yang memicu patahan pada batuan hasil erupsi. Patahan ini yang kemudian menjadi Sesar Lembang, sebuah rekahan yang memanjang dari timur ke barat.
Akibat aktivitas tektonik dan terbendungnya aliran Sungai Citarum Purba, terbentuklah Danau Bandung Purba yang puncaknya mencapai ketinggian 712,5 meter di atas permukaan laut. Danau ini mulai surut sekitar 16.000 tahun yang lalu setelah airnya menjebol sisi barat cekungan, menyisakan dataran rendah dan rawa-rawa yang menjadi cikal bakal banyak nama tempat di Bandung (seperti ranca, situ, dan bojong).
Geologi Cekungan Bandung
Gambar 1. Visualisasi Sesar lembang (Eko Yulianto, LIPI)
Secara geologis, Cekungan Bandung memiliki potensi sumber daya alam yang signifikan, antara lain:
- Energi Panas Bumi: Terdapat di lapangan Darajat, Kamojang, dan Wayang-Windu dengan kapasitas 110-150 Megawatt.
- Sumber Daya Mineral: Meliputi batu gamping dan bahan galian Golongan C lainnya.
Meskipun kaya akan potensi, wilayah ini juga memiliki ancaman bahaya geologi yang besar, yaitu Sesar Lembang, yang berpotensi menyebabkan kerusakan masif di kawasan Bandung.
Apa itu sesar?
Sesar adalah bentuk rekahan pada suatu bidang lapisan batuan yang menyebabkan suatu blok batuan bergerak relatif terhadap blok batuan yang lain. Mudahnya, proses terjadinya sesar ini dapat dianalogikan sebagai wafer yang berlapis lalu diberi tekanan yang berbeda dari sisi-sisi yang saling mendorong. Ketika tekanan ini terjadi, lembaran wafer bisa bergeser satu sama lain dan di titik-titik tempat gesekan antar lembaran terjadi dengan sangat kuat sehingga bisa retak atau terpisah. Jenis sesar terbagi menjadi tiga yaitu sesar naik, sesar turun, dan sesar mendatar. Sesar vertikal yaitu termasuk sesar naik dan turun diklasifikasikan menjadi 4 bentuk lagi yaitu horst, graben, fault scrap (gawir sesar), dan step fault.
Gambar 2. Skema Sesar
Sesar Lembang merupakan sesar mengiri (sinistral) yang juga memiliki komponen sesar menurun (normal) dengan rasio rata-rata antara strike slip dan dip slip sekitar dua banding satu. Sesar Lembang adalah salah satu bukti geologis dan ekspresi geomorfologi berupa gawir sesar yang jelas dari aktivitas neotektonik di Cekungan Bandung. Sesar atau patahan Lembang memiliki panjang sekitar 29 km, berada di utara Cekungan Bandung, membentang mulai dari kaki Gunung Manglayang hingga ke kawasan Padalarang di Kabupaten Bandung Barat.
Sesar Lembang menjadi perhatian utama karena merupakan sesar aktif dengan laju pergerakan 0,3 hingga 1,4 cm/tahun dan posisinya yang sangat dekat dengan kawasan metropolitan Bandung. Kawasan strategis nasional ini meliputi Kota Bandung, Kota Cimahi, Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Bandung, dan sebagian Sumedang, dengan total luas 3.620,29 km² dan populasi 8.967.311 jiwa. Kepadatan penduduk dan banyaknya infrastruktur penting di sekitarnya menjadikan penanganan bencana sebagai prioritas.
Meskipun berisiko tinggi, banyak bangunan masih berdiri di dekat bahkan tepat di atas jalur Sesar Lembang. Sebagai perbandingan, beberapa negara menetapkan jarak aman dari garis sesar, seperti:
- Amerika Serikat: 150 m dari sesar utama.
- Taiwan: 100 m kiri-kanan untuk sesar dengan riwayat gempa M ? 7.
- Tiongkok: 100 m, 200 m, atau 400 m tergantung kelas konstruksi.
Di Jawa Barat, Perda No. 2 Tahun 2016 menetapkan koridor 250 meter di kiri dan kanan Sesar Lembang sebagai Kawasan Lindung Utama (Zona L1). Namun, data menunjukkan adanya bangunan di dalam zona ini, dengan rincian:
- Kota Cimahi: 23 unit
- Kabupaten Bandung: 50 unit
- Kabupaten Bandung Barat: 17.572 unit
Lebih mengkhawatirkan lagi, analisis geospasial menemukan 456 unit bangunan dengan total luas 7,32 ha berdiri tepat di atas garis Sesar Lembang. Seluruh bangunan tersebut berada di Kabupaten Bandung Barat, tersebar di 4 kecamatan (Cisarua, Lembang, Ngamprah, dan Parongpong) dan 19 desa.
Potensi bencana sesar Lembang sejauh mana?
Adanya Sesar Lembang menghadirkan potensi bencana nyata yang memerlukan pengaturan penataan ruang yang peka dari pemerintah. Sesar aktif ini memiliki potensi gempa bumi hingga mencapai kekuatan maksimal 6,8 Skala Richter (SR) atau magnitudo 6,4-7. Berdasarkan keterangan BMKG, belum ada aktivitas gempa yang tercatat dari Sesar Lembang sejak 2012, namun penelitian menjelaskan bahwa gempa besar terakhir terjadi 500 tahun yang lalu.
Jika pergerakan sesar konstan sebesar 2-6 mm/tahun, saat ini telah tersimpan potensi pergerakan sebesar 1-3 meter, yang setara dengan energi gempa M6-7. Selain menjadi sumber gempa, bahaya ikutan berupa likuefaksi juga sangat mengancam, karena dataran Cekungan Bandung terbentuk dari endapan danau purba yang materialnya lepas (lempung, lanau, pasir, kerikil) sehingga sangat rentan getaran.
Berdasarkan analisis data Standard Penetration Test (SPT), potensi likuefaksi dapat terjadi hingga kedalaman 30 meter. Akibatnya, dapat terjadi penurunan tanah yang berbeda-beda, dengan penurunan maksimum diprediksi terjadi di Desa Tegalluar, Kecamatan Bojongsoang, sebuah fenomena yang sebelumnya pernah terjadi pada gempa di Palu tahun 2018.
Mitigasi bencana dan peran teknik geofisika
Menghadapi potensi bencana dari Sesar Lembang, upaya mitigasi dilakukan melalui dua jalur utama: struktural dan non-struktural. Pendekatan struktural berfokus pada penataan ruang yang cermat, seperti melakukan pemetaan detail fault rupture hazard zone (FRHZ), menghindari pembangunan di zona bahaya, dan menerapkan standar bangunan tahan gempa. Sementara itu, pendekatan non-struktural menekankan pada peningkatan kapasitas masyarakat melalui edukasi, pelatihan evakuasi, dan penyusunan kebijakan yang responsif.
Ilmu Teknik Geofisika memegang peranan krusial dalam mendukung upaya ini. Para ahli geofisika menggunakan berbagai metode canggih seperti electrical resistivity tomography (ERT) untuk memetakan jalur sesar, memasang seismometer untuk memantau aktivitas gempa secara real-time, dan memanfaatkan data satelit InSAR untuk melacak deformasi permukaan tanah. Data-data ini menjadi dasar ilmiah untuk pemodelan gempa, pengembangan sistem peringatan dini, serta rekomendasi teknis untuk desain bangunan yang aman.
Sebagai langkah ke depan, kolaborasi multi-pihak menjadi kunci. Perencanaan tata ruang harus secara tegas mengintegrasikan data risiko bencana. Sistem peringatan dini perlu terus diinovasikan dan diperkuat. Namun, yang terpenting adalah menumbuhkan partisipasi aktif dan kesadaran masyarakat. Sebab, masyarakat yang peka, waspada, dan terlatih merupakan garda terdepan dalam mengurangi kerentanan dan meminimalkan korban jiwa saat bencana terjadi.
Daftar Pustaka
Abidin, H. Z., Andreas, H., Kato, T., Ito, T., Meilano, I., Kimata, F., Natawidjaja, D., & Harjono, H. (2009). Crustal deformation studies in Java (Indonesia) using GPS. Journal of Earthquake and Tsunami, 3(2), 77–88. https://doi.org/10.1142/S1793431109000445
Brahmantyo, M. B., & Widarto, D. D. (2003). Ekskursi Sesar Lembang. Bandung: Himpunan Ahli Geofisika Indonesia (HAGI), Komisariat Wilayah Bandung.
Febriana, R., Feranie, S., & Tohari, A. (2020). Analisis potensi likuefaksi di daerah Cekungan Bandung berdasarkan data Standard Penetration Test (SPT). Jurnal Lingkungan dan Bencana Geologi, 11(1), 25–39. https://doi.org/10.34126/jlbg.v11i1.277
Halim, M. F. A., Abidin, H. Z., Gunawan, E., & Bekaert, D. P. S. (2021). The seismic hazard from the Lembang Fault, Indonesia, derived from InSAR and GNSS data. Natural Hazards and Earth System Sciences, 21(7), 2229–2242. https://doi.org/10.5194/nhess-21-2229-2021
Hanifa, N. R. (2020). Bahan presentasi FGD pengendalian pemanfaatan ruang di Kawasan Bandung Utara. PPMP ITB, 29 Juli 2020.
Kinasih, F., Miladan, N., & Kusumastuti, K. (2023). Kajian risiko bencana gempa bumi akibat aktivitas Sesar Lembang di Kabupaten Bandung Barat. Region: Jurnal Pembangunan Wilayah dan Perencanaan Partisipatif, 18(2), 357–370. https://doi.org/10.20961/region.v18i2.57232
Nur, A. M. (2010). Gempa bumi, tsunami dan mitigasinya. Jurnal Geografi, 7(1), 66–73.
Nurrohman, A. (2021). Pemetaan sebaran lahan terbangun dalam koridor 250 meter Sesar Lembang. Elipsoida: Jurnal Geodesi dan Geomatika, 4(1). https://doi.org/10.14710/elipsoida.2021.11497
Ramadhan, M., Maulinadya, S., Nanda, W., Pinehas, D., & Adipradipto, D. (2016). Identifikasi bidang patahan Sesar Lembang dengan metode Electrical Resistivity Tomography untuk mitigasi bencana gempa bumi dan longsor.
Rasmid, R. (2014). Aktivitas Sesar Lembang di utara Cekungan Bandung. Jurnal Meteorologi dan Geofisika, 15(2). https://doi.org/10.31172/jmg.v15i2.182
Rismawati, R. (2019). Sesar Lembang: Potensi bencana di kawasan perkotaan Cekungan Bandung (suatu tinjauan yuridis). Creative Research Journal, 5(1), 23–32. https://doi.org/10.34147/crj.v5i01.193
Tohari, A., Feranie, S., & Ambarwati, I. (2020). Analisis potensi likuifaksi di wilayah Cekungan Bandung dengan menggunakan metode uji penetrasi konus. RISET Geologi dan Pertambangan, 30(1), 21–37. https://doi.org/10.14203/risetgeotam2020.v30.1038
Van Bemmelen, R. W. (1949). The geology of Indonesia (Vol. 1A). The Hague: Government Printing Office.
Yulianto, E. (2017, Agustus 2). Sesar Lembang. Infografis. Dalam Kisah Sesar Lembang, patahan yang membelah Bandung. National Geographic Indonesia. Diakses 19 Juni 2025, dari https://nationalgeographic.grid.id/read/13308922/kisah-sesar-lembang-patahan-yang-membelah-bandung