
FINAL Piala Champions 2008 yang mempertemukan Manchester United dan Chelsea, juaranya harus ditentukan melalui adu tendangan penaltı. Chelsea yang baru tampil pada final Piala Champions berharap untuk bisa mengangkat piala.
Namun, harapan untuk menorehkan sejarah besar itu pupus. Yang paling menyedihkan, kapten kesebelasan John Terry menjadi salah satu penyebab kegagalan. Terry terpeleset ketika hendak menendang bola sehingga tendangannya melenceng jauh di luar gawang yang dikawal Edwin van der Sar.
L’histoire se repete. Nasib buruk yang dialami Terry terulang pada pertandingan 16 Besar Liga Champions Rabu lalu. Kali ini, bintang muda asal Argentina Julian Alvarez yang harus mengalami mimpi buruk.
Hanya, berbeda dengan Terry, tendangan penaltı kedua yang dilakukan Alvarez masuk ke gawang Real Madrid. Namun, wasit yang mengawasi video assistance referee (VAR) memberitahukan wasit Szymon Marciniak bahwa gol itu tidak sah karena ada dua sentuhan kaki sebelum meluncur ke gawang Thibaut Courtois.
Pelatih Atletico Madrid Diego Simeone dan pendukung Atleti mengecam keputusan wasit yang dianggap tidak adil. Pihak Atletico Madrid secara resmi bahkan mengirimkan surat protes, mempertanyakan keputusan untuk menganulir yang mereka anggap sah.
Mereka berpandangan kalau gol itu tidak dianulir, bukan mustahil Atletico yang menang adu tendangan penalti dan berhak melaju ke perempat final sebab penendang keempat Real Madrid, Lucas Vazquez, gagal menjalankan tugasnya sebagai algojo. Kalaupun penendang keempat Atletico Marcos Llorente gagal memperdaya Cortouis, masih ada penendang kelima yang bisa menjaga harapan tim 'Merah-Putih'.
UEFA menunjukkan kepada kubu Atletico bahwa Alvarez melakukan dua sentuhan ketika menendang bola. Kaki kiri bintang muda Argentina itu menyentuh bola sebelum ayunan kaki kanannya menendang keras ke arah tengah gawang Cortuis.
SAKITNYA PENALTI
Drama adu tendangan penalti selalu memberikan cerita panjang yang tidak ada habis-habisnya. Mereka yang menang selalu merayakan dengan penuh sukacita, sedangkan yang kalah meninggalkan rasa sakit yang tidak habis-habis.
Inggris bahkan pernah dikatakan menghadapi kutukan penalti karena selalu kalah dalam adu tendangan penalti. Mereka pernah tersingkir secara menyakitkan di perempat final Piala Dunia 1990 dan semifinal Piala Eropa 1996, dua-duanya dari Jerman. Banyak yang berpandangan bahwa adu tendangan penalti bukan cara penentuan pemenang yang adil. Sebab, sering kali yang menang bukan tim yang lebih baik, melainkan yang lebih beruntung.
Namun, keinginan untuk menghapus adu tendangan penaltı tidak menemukan pilihan lain yang lebih baik. Ketika pertandingan sudah diperpanjang 2 x 15 menit dan tidak ada satu pun tim yang bisa menjebol gawang lainnya, maka keterampilan algojo penalti serta kecermatan kiper dalam bergerak yang menentukan pemenang.
FIFA mempertahankan keputusan untuk dilakukan adu tendangan penalti. Kalau kembali ke peraturan lama yakni dilakukan pertandingan ulangan keesokan hari, akan merusak jadwal besar yang ada. Belum lagi kewajiban kepada stasiun televisi. Mereka harus mengatur ulang jadwal harian, padahal banyak komitmen yang sudah ada dan tidak mungkin dibatalkan begitu saja.
Kepentingan sepak bola sebagai sebuah industri lebih penting untuk dijaga karena di balik sepak bola ada bisnis yang nilainya sangat besar. Itulah yang membuat FIFA dan bahkan UEFA menjadi organisasi yang sangat kaya raya.
Setelah penetapan Qatar sebagai tuan rumah Piala Dunia 2022 bahkan terbongkar permainan uang di FIFA. Biro Investigasi Federal AS turun tangan langsung, bahkan menangkap tangan Presiden FIFA Joseph Blatter ketika itu.
LIVERPOOL JADI KORBAN
Atletico Madrid bukan satu-satunya klub yang merasakan pahitnya tersingkir lantaran kalah adu penaltı. Liverpool juga harus menerima kenyataan pahit setelah kalah ‘beruntung’ dari Paris Saint Germain.
Seperti halnya Atletico, kekalahan itu terasa semakin sakit karena keduanya harus tersingkir di depan pendukung sendiri. Simeone sampai harus turun untuk menghardik anak asuhnya agar tegar dan menyampaikan terima kasih kepada pendukung Atletico yang sudah luar biasa memberi dukungan.
Sehari sebelumnya, para pemain Liverpool melangkah gontai setelah tersingkir dari ajang Liga Champions. Pelatih Arne Slot sampai harus memeluk ujung tombak Darwin Nunez yang paling terpukul karena gagal menjalankan tugasnya dengan baik. Sebagai seorang penyerang, mencetak gol wajib menjadi kebiasaan. Ternyata Nunez tidak bisa memperlihatkan kualitasnya sebagai pencetak gol yang bisa diandalkan. Kegagalan penyerang asal Uruguay itu meruntuhkan kepercayaan diri pemain yang lain.
Curtis Jones yang menjadi penendang ketiga harus menanggung beban tambahan. Ia terbebani untuk tidak boleh gagal mencetak gol karena tiga pemain PSG, yaitu Vitinha, Goncalo Ramos, dan Ousmane Dembele, mampu menjalankan tugas dengan baik. Tendangan Jones ke pojok kanan bawah bisa ditepis kiper Gianluigi Donnarumma.
Liverpool yang berjaya di Liga Primer Inggris tiba-tiba menjadi tim yang kehilangan ketajaman. Mereka hanya bisa sekali menjebol gawang PSG dari kaki Mohamed Salah dan harus menyerah 1-4 dalam drama adu tendangan penalti.
Sepahit apa pun kekalahan yang harus dialami, dunia akan terus berputar. Virgil van Dijk dan kawan-kawan harus segera bangkit untuk menyongsong tantangan baru yakni final Piala Carabao. Minggu (16/3) malam, Liverpool akan berhadapan dengan Newcastle United untuk memperebutkan piala pertama di kompetisi Inggris musim ini. Kemenangan malam besok tidak hanya menjadi pelipur lara, tetapi juga menjaga semangat meraih juara di musim ini.
Ada dua gelar yang tidak boleh lepas dari tangan, yaitu Piala Carabao dan Liga Primer. Ini sesuatu yang paling penting bagi Slot dalam kiprah pertamanya di kompetisi sepak bola Inggris.
Belajar dari kekalahan dari PSG, tidak ada yang pasti dalam sepak bola sebelum peluit panjang ditiupkan wasit. Newcastle bukanlah tim yang mudah dikalahkan. Mereka memiliki playmaker Bruno Guimaraez yang bisa mengubah permainan dan membuat penyerang sekelas Alexander Isak mudah menjebol lawan.