Zakat, Ramadhan, dan Jurnalisme Profetik: Memadam Bara Islamofobia

1 month ago 19
 Memadam Bara Islamofobia Andi Faisal Bakti.(Dokpri)

ISLAMOFOBIA telah menjadi fenomena global yang mengkhawatirkan dalam beberapa dekade terakhir, terutama di negara-negara Barat. Persepsi negatif terhadap Islam, yang sering kali diperburuk oleh pemberitaan media yang terkadang bias, menciptakan tantangan serius bagi umat Islam di berbagai belahan dunia. 

Menurut laporan Council on American-Islamic Relations (CAIR), Amerika Serikat mengalami peningkatan kasus Islamofobia hingga 70 persen pada 2024 yang sebagian besar dipicu oleh serangan Israel ke Palestina. Peningkatan ini merupakan tanda keadaan darurat yang memerlukan perhatian serius, baik secara nasional maupun internasional. 

Di tingkat global, tren serupa juga terlihat pada laporan Genocide Watch yang memperingatkan bahwa peningkatan Islamofobia ekstrem dapat mencapai level genosida, seperti yang terjadi di Bosnia pada dekade 1990-an dan Gaza, baru-baru ini. 

Upaya internasional untuk memerangi Islamofobia mulai mendapatkan momentum setelah ada resolusi Majelis Umum PBB pada 2022 yang menetapkan 15 Maret sebagai Hari Internasional untuk Memerangi Islamofobia. Tanggal tersebut dipilih untuk memperingati peristiwa penembakan tragis di Masjid Christchurch, Selandia Baru, pada 2019 yang menewaskan 51 orang. 

Meski upaya-upaya global ini penting, tantangannya tetap besar. Misal, laporan CNN pada Agustus 2024 menggambarkan kerusuhan anti-Muslim di Inggris sebagai kekacauan terburuk dalam lebih dari satu dekade yang melibatkan penjarahan, pembakaran perpustakaan, dan penyerangan terhadap pencari suaka.

Di Indonesia, fenomena Islamofobia juga memiliki dinamika tersendiri. Walau dikenal sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia dan mendapat predikat Top Muslim Friendly Destination of the Year 2024, kasus seperti pembakaran Al-Qur'an di Kebayoran Lama pada 2021 dan penolakan Ustaz Abdul Somad oleh imigrasi Singapura pada 2022 menunjukkan bahwa stigma terhadap Islam juga ada di tingkat lokal dan regional. 

John L. Esposito mencatat, isu radikalisme agama kerap menjadi 'ajang bermain' bagi intelijen dan hal ini membahayakan masa depan agama. Stigmatisasi terhadap Islam tidak hanya merusak citra agama, tetapi juga berdampak negatif terhadap isu sosial, politik dan demokrasi di Indonesia. Fenomena ini menggarisbawahi urgensi pendekatan strategis yang melibatkan berbagai pihak untuk menangani permasalahan Islamofobia, baik di tingkat nasional maupun internasional.

Respons terhadap isu-isu tersebut, terutama dalam konteks global, memerlukan pendekatan yang lebih humanis dan solusi yang berbasis pada nilai-nilai Islam yang damai dan penuh kasih sayang. Salah satu pendekatan adalah jurnalisme profetik yang berperan penting dalam menciptakan narasi positif tentang umat Islam serta memperkenalkan sisi humanisme dalam zakat, infak, dan sedekah sebagai bagian dari solusi terhadap Islamofobia.

Jurnalisme Profetik Vis a Vis Islamofobia

Jurnalisme profetik adalah pendekatan jurnalisme yang tidak hanya fokus pada berita atau informasi semata, tetapi juga pada upaya memberikan dampak sosial yang positif, sering kali melalui kolaborasi antara media dan organisasi filantropis. 

Jurnalis yang menerapkan pendekatan ini bertugas menggali dan menyebarkan cerita yang menginspirasi serta mengedukasi masyarakat tentang arti penting berbagi, membantu sesama, dan membangun solidaritas antarumat manusia. Dalam hal ini, media memiliki peran besar dalam membentuk citra positif umat Islam dan mengubah narasi negatif yang seringkali berkembang di tengah masyarakat. 

Dalam konteks Islamofobia, jurnalisme profetik memiliki potensi untuk memperkenalkan nilai-nilai kemanusiaan yang terdapat dalam ajaran Islam. Salah satu contoh adalah dakwah zakat yang merupakan bagian integral dari ajaran Islam yang mengajarkan umat untuk peduli terhadap sesama, terutama yang membutuhkan. 

Melalui pemberitaan positif dan edukatif, jurnalisme profetik dapat mengubah persepsi masyarakat terhadap umat Islam yang selama ini sering dikaitkan dengan kekerasan dan terorisme menjadi lebih humanis dan penuh kasih sayang.

Internasionalisasi Dakwah Zakat 

Sebagaimana tradisi pada tahun-tahun sebelumnya, Presiden Prabowo menyerahkan zakat kepada Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) di Istana Negara, Jakarta, Kamis, 27 Maret 2025. Gebrakan ini menjadi trend setter sehingga kerap menyemangati banyak organisasi pengelola zakat (OPZ) di Tanah Air untuk mengampanyekan Gerakan Cinta Zakat, termasuk melalui safari Ramadhan di luar negeri.

Seperti yang dilakukan Baznas di Hong Kong, Dompet Dhuafa di Eropa, dan banyak lembaga amil zakat (LAZ) yang turun langsung ke Palestina dan negara-negara Timur Tengah. Ini beberapa contoh internasionalisasi dakwah zakat yang memiliki dampak besar bagi komunitas Muslim Indonesia di mancanegara, terutama para diaspora dan pekerja migran. Di tengah-tengah masyarakat yang sering kali terisolasi dan kurang mendapat perhatian, inisiatif semacam ini bukan hanya sebagai bentuk bantuan materiil, tetapi juga sebagai sarana untuk mengangkat citra positif Islam melalui amal dan kebaikan.

Dalam konteks internasionalisasi dakwah zakat, kegiatan OPZ (Baznas dan LAZ), tidak hanya mengajarkan kewajiban umat Islam untuk menunaikan zakat, infak, dan sedekah, tetapi juga memberikan kesempatan untuk memperlihatkan kepada masyarakat non-Muslim bahwa Islam adalah agama yang mendorong umatnya untuk berbuat baik, bukan hanya untuk diri mereka sendiri, tetapi juga untuk kebaikan bersama. Program ini dapat menjadi sarana untuk mengedukasi masyarakat dunia tentang urgensi solidaritas antarumat manusia dan memperbaiki citra Islam yang kerap terdistorsi oleh media global.

Urgensi program semacam ini dalam upaya mengatasi Islamofobia juga tercermin dari pendekatan komunikasi profetik yang digagas oleh para ahli komunikasi Islam. Komunikasi profetik adalah komunikasi yang mengedepankan nilai-nilai kebenaran, keadilan, dan kasih sayang, yang didasarkan pada ajaran-ajaran Nabi Muhammad SAW. 

Dalam hal ini, dakwah zakat adalah salah satu bentuk komunikasi profetik yang dapat digunakan untuk menanggulangi Islamofobia. Karena melalui zakat, infak, dan sedekah, umat Islam dapat menunjukkan komitmen mereka terhadap kesejahteraan sosial, mengurangi ketimpangan ekonomi, dan menciptakan hubungan yang lebih baik antarsesama.

Dalam konsep komunikasi profetik, komunikasi dalam Islam berorientasi pada kebaikan, dengan tujuan membangun masyarakat yang adil dan sejahtera. Dalam praktik jurnalisme profetik, prinsip ini dapat diterapkan dengan menyebarkan cerita-cerita tentang kebaikan yang dilakukan oleh umat Islam, terutama dalam konteks zakat dan amal sosial. 

Melalui pendekatan komunikasi berbasis pada nilai-nilai profetik ini, jurnalisme profetik dapat memfasilitasi dialog yang lebih produktif antara umat Islam dan non-Muslim, sehingga bisa membantu mengurangi ketegangan sosial dan meningkatkan pemahaman antarkelompok.

Program syiar Ramadhan yang kerap digelar OPZ (Baznas dan LAZ) serta sosialiasi zakat, infak, dan sedekah kepada komunitas-komunitas Muslim di luar negeri, menunjukkan bahwa dakwah zakat dapat menjadi salah satu solusi untuk mengatasi Islamofobia. Melalui jurnalisme filantropi, nilai-nilai kemanusiaan yang terkandung dalam ajaran zakat dapat dipromosikan dengan cara yang edukatif dan inspiratif, membantu menciptakan citra positif bagi umat Islam di mata masyarakat global. 

Di samping itu, dengan menerapkan prinsip ilmu sosial dan komunikasi profetik (Kuntowijoyo, Mizan: 2007), dakwah zakat dapat diterima secara luas sebagai upaya mengurangi ketegangan sosial dan membangun solidaritas antarumat manusia. Dalam konteks ini, jurnalisme filantropi berfungsi sebagai jembatan antara umat Islam dan masyarakat non-Muslim, yang pada akhirnya dapat berkontribusi dalam meredakan ketegangan sosial dan meningkatkan perdamaian global.

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |