Warga Maba Sangaji Dipenjara, DPR Sebut Sistem Peradilan Gagal Bela Hak Masyarakat Adat

5 hours ago 1
Warga Maba Sangaji Dipenjara, DPR Sebut Sistem Peradilan Gagal Bela Hak Masyarakat Adat WAKIL Ketua Komisi XIII DPR RI Andreas Hugo Pareira(Dok DPR)

WAKIL Ketua Komisi XIII DPR RI Andreas Hugo Pareira mengaku prihatin atas vonis penjara yang dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri Soasio terhadap 11 warga adat Maba Sangaji, Halmahera Timur, Maluku Utara yang dinyatakan bersalah karena menghalangi aktivitas pertambangan nikel di sana. Andreas menilai kasus ini mencerminkan ketegangan serius antara kepentingan ekonomi, perlindungan hak asasi manusia (HAM), dan ketimpangan regulasi dalam tata kelola sumber daya alam di Indonesia.

"Dalam perspektif reformasi regulasi dan hak asasi manusia, kami menilai bahwa peraturan dan praktik hukum yang ada masih belum sepenuhnya mampu memberikan jaminan perlindungan bagi masyarakat adat dan pejuang lingkungan," kata Andreas melalui keterangan tertulis, Kamis (23/10). 

Menurut Andreas, putusan pengadilan yang menolak mengakui warga Maba Sangaji sebagai pembela hak atas lingkungan hidup memperlihatkan adanya celah besar dalam harmonisasi hukum antara Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) dan Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba).

“Dan tentunya ini sangat disayangkan. Vonis hukum bagi warga yang mempertahankan tanah adat mereka sendiri menunjukkan gagalnya sistem peradilan dalam membela hak-hak masyarakat,” tukasnya.

Andreas menegaskan bahwa hak masyarakat untuk memperjuangkan lingkungan hidup yang sehat merupakan bagian integral dari hak asasi manusia yang dijamin oleh Konstitusi dan Deklarasi Universal HAM. 

“Setiap tindakan warga dalam mempertahankan ruang hidupnya tidak seharusnya dikriminalisasi. Negara wajib memastikan bahwa hukum tidak digunakan untuk membungkam partisipasi masyarakat, terutama kelompok adat yang rentan terhadap tekanan struktural dan korporasi," kata Andreas. 

Andreas menilai kasus Maba Sangaji merupakan cermin lemahnya tata kelola regulasi yang tumpang tindih, tidak berpihak, dan gagal memberikan ruang keadilan bagi masyarakat lokal. Sebab regulasi pertambangan memberikan perlindungan kuat bagi investasi. 

"Di sisi lain, regulasi lingkungan dan hak masyarakat adat masih bersifat deklaratif tanpa mekanisme perlindungan yang efektif," sebut Andreas.

Andreas mendorong harmonisasi antara UU Minerba, UU Lingkungan Hidup, dan UU Masyarakat Adat. Andreas mengatakan, setiap kebijakan dan proses penegakan hukum berorientasi pada keadilan ekologis dan hak asasi manusia.

"Kami juga meminta evaluasi terhadap penerapan Pasal 162 UU Minerba, di mana seringkali digunakan untuk menjerat warga yang menolak aktivitas tambang, sehingga berpotensi menimbulkan kriminalisasi terhadap masyarakat adat," ujarnya.

Sebelumnya, Pengadilan Negeri Soasio, Kota Tidore Kepulauan, menjatuhkan pidana penjara kepada sebelas warga adat Maba Sangaji dari Kabupaten Halmahera Timur, Maluku Utara. Dalam sidang yang digelar Kamis (16/10), majelis hakim menjatuhkan hukuman penjara kepada para warga yang selama ini dikenal lantang menolak aktivitas tambang nikel milik PT Position. 

Majelis hakim menjatuhkan hukuman penjara lima bulan delapan hari kepada sepuluh warga, antara lain Sahrudin Awat, Jamaludin Badi, Alaudin Salamudin, hingga Yasir Hi. Samar. Dalam sidang terpisah, terdakwa lainnya, Sahil Abubakar, juga dijatuhi hukuman serupa.

Mereka dinyatakan bersalah melanggar Pasal 162 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba). Selama ini, pasal tersebut dikritik karena dianggap menjadi alat represi terhadap warga penolak tambang.

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |