WAKIL Menteri Hukum Edward Omar Sharief Hiariej.(MI/ Usman Iskandar)
WAKIL Menteri Hukum Edward Omar Sharief Hiariej menegaskan bahwa setiap aturan, termasuk soal rokok, harus dibuat dengan melibatkan masyarakat yang terdampak. Ia menilai, kebijakan yang disusun tanpa mendengar suara publik berisiko menimbulkan penolakan dan tidak efektif saat diterapkan.
“Kalau ada resistensi, artinya tidak ada partisipasi. Dalam membuat peraturan apa pun, kita harus hati-hati, duduk bersama semua pihak, supaya kebijakan itu tidak hanya kuat secara hukum, tapi juga diterima masyarakat,” ujar Edward dalam keterangan tertulis, Selasa (28/10).
Edward menjelaskan, pembahasan regulasi pertembakauan tidak bisa hanya dilihat dari sisi kesehatan. Pemerintah, kata dia, juga harus memperhatikan kepentingan petani, pekerja, pedagang kecil, hingga pelaku industri kreatif yang menggantungkan hidup dari sektor ini.
“Partisipasi masyarakat bukan formalitas. Suara publik harus benar-benar didengar dan ditindaklanjuti. Semua masukan penting untuk memastikan aturan yang dibuat adil bagi semua,” katanya menegaskan.
Direktur Perancangan Peraturan Perundang-undangan Kemenkum Hendra Kurnia Putra menyampaikan bahwa penyusunan aturan harus dilakukan dengan koordinasi lintas kementerian agar tidak menimbulkan tumpang tindih kebijakan. "Harmonisasi ini penting agar kebijakan yang dihasilkan tidak membingungkan dan bisa dijalankan dengan baik di lapangan," bebernya.
Saat ini sejumlah aturan soal rokok masih menuai kritik dari berbagai pihak. Salah satunya adalah larangan menjual produk tembakau dalam radius 200 meter dari sekolah dan taman bermain yang diatur dalam Peraturan Pemerintah nomor 28 tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang nomor 17 tahun 2023 tentang Kesehatan.
Selain itu terkait, usulan penyeragaman kemasan rokok berwarna polos dari Kementerian Kesehatan juga dinilai melampaui kewenangan yang diberikan PP tersebut. (M-1)


















































