Wacana Kemasan Seragan Dinilai tak Relevan Tekan Perokok Pemula

1 week ago 14
Wacana Kemasan Seragan Dinilai tak Relevan Tekan Perokok Pemula Ilustrasi(Antara)

Rencana Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menerapkan kebijakan penyeragaman kemasan rokok dengan warna yang sama (plain packaging) sebagai upaya menekan angka perokok pemula mendapat penolakan dari berbagai pihak. Kebijakan ini dinilai tidak menyentuh akar persoalan dan justru berpotensi memperburuk peredaran rokok ilegal yang lebih murah dan mudah diakses oleh remaja.

Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (DPN APTI), Agus Parmuji, mengungkapkan bahwa ia menghadiri rapat koordinasi Kemenkes yang membahas draft Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes). Dalam rapat tersebut, Kemenkes menjelaskan bahwa plain packaging diperlukan untuk menekan prevalensi perokok pemula.

Agus menilai bahwa penyeragaman kemasan bukanlah solusi yang tepat. Menurutnya, akar masalah terletak pada ketersediaan rokok illegal yang semakin marak, bukan pada tampilan kemasan. “Yang pertama, bagaimana Kemenkes, Kementerian Perindustrian (Kemenperin), dan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker), saling berkoordinasi dan berkomunikasi dalam membuat aturan. Jangan lari ke gambar dulu,” paparnya.

Agus juga menyoroti potensi pelanggaran terhadap Hak Kekayaan Intelektual (HAKI). Ia menjelaskan bahwa produk rokok legal telah memiliki pengakuan resmi dari Kementerian Hukum dan HAM, termasuk logo dan hak cipta.

“Kalau ini disahkan, maka yang akan terjadi, dalam pemikiran kami, rokok-rokok yang legal itu dipaksa perang untuk bertempur dengan rokok ilegal,” jelasnya.

Ia menambahkan bahwa penyeragaman kemasan akan membuat produk legal dan ilegal terlihat serupa, sehingga menyulitkan konsumen dalam membedakan keduanya. Kondisi ini dinilai dapat menciptakan ketimpangan regulasi dan secara tidak langsung melegitimasi produk ilegal.

Agus juga mengkritisi proses perumusan regulasi yang dinilai tidak inklusif. Menurutnya, petani tembakau dan pemangku kepentingan lainnya sering kali hanya dilibatkan di tahap akhir, tanpa ruang untuk memberikan masukan yang substansial.

“Setiap perancangan kebijakan yang berkaitan dengan pengendalian tembakau, tidak melibatkan semua komponen. Mereka hanya membuat sesuai kepentingan kesehatan saja,” ungkapnya.

Ia menyebut pola ini telah terjadi dalam perumusan UU Kesehatan, PP Nomor 28 Tahun 2024, dan berbagai regulasi lainnya. Agus khawatir kebijakan plain packaging akan disahkan di tikungan terakhir tanpa uji publik yang memadai.

“Ini yang bikin khawatir, jadi tidak mengakomodir sebuah visi ataupun nafas negara ini bahwa semua aturan itu harus melibatkan semua komponen karena negara kita dibuat dibangun itu Negara Kesatuan Republik Indonesia, bukan Negara Kesehatan Republik Indonesia,” urainya.

Secara terpisah, pengamat hukum pidana Universitas Tanjungpura, Hermansyah, menilai, tindakan hukum yang tidak mempertimbangkan kondisi sosial bisa menimbulkan persoalan baru, terutama di sektor ekonomi masyarakat.

“Kalau semua disikat habis tanpa melihat konteks sosial, bisa timbul persoalan baru. Banyak orang kehilangan pekerjaan, dan ketika lapangan kerja belum tersedia, itu bisa memunculkan tindak kriminal lain,” pungkasnya. (E-3)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |