Shireen Abu Akleh.(Al Jazeera)
SEORANG mantan kolonel Angkatan Darat Amerika Serikat (AS), yang pernah terlibat dalam penyusunan laporan mengenai kematian jurnalis Al Jazeera, Shireen Abu Akleh, menuduh pemerintahan mantan Presiden Joe Biden melemahkan hasil investigasi demi melindungi Israel.
Kolonel Steve Gabavics, yang baru angkat bicara secara terbuka lewat wawancara dengan New York Times pada Senin (27/10), mengungkapkan bahwa ia terkejut ketika Departemen Luar Negeri menyebut penembakan Abu Akleh sebagai keadaan tragis dan menolak menyimpulkan bahwa tindakan itu disengaja. Menurutnya, pernyataan resmi tersebut tidak mencerminkan perdebatan internal yang sebenarnya terjadi di antara tim penyusun laporan.
Saat kejadian penembakan pada Mei 2022 di kamp pengungsi Jenin, Gabavics bertugas di Kantor Koordinator Keamanan AS (KOC), lembaga antarinstansi yang mengawasi kerja sama keamanan antara Israel dan Palestina. KOC dipimpin Letnan Jenderal Michael R. Fenzel dan ditugaskan menyusun laporan investigasi bagi pemerintahan Biden.
Gabavics mengaku termasuk dalam kelompok pejabat yang meyakini bahwa penembakan terhadap Abu Akleh dilakukan secara sengaja. Ia mengatakan hasil akhir laporan yang telah dilunakkan oleh pemerintah terus menghantui nuraninya.
Menurut Gabavics, komunikasi radio pasukan Israel pada saat kejadian menunjukkan bahwa tentara di lapangan menyadari keberadaan para jurnalis, termasuk Abu Akleh. Tidak ada tembakan yang berasal dari arah mereka dan posisi kendaraan militer Israel memungkinkan penembak untuk melihat jelas rombongan wartawan melalui teropong.
Ia menilai akurasi tembakan yang menewaskan produser, lalu Abu Akleh, dan kemudian seorang yang mencoba menolong, menunjukkan ada unsur kesengajaan. "Agar ini bisa dianggap kecelakaan, hal yang paling tidak masuk akal di dunia harus terjadi," katanya dikutip Al Jazeera, Selasa (28/10).
Gabavics mengatakan kesimpulannya disampaikan kepada Jenderal Fenzel, tetapi tidak dimasukkan dalam laporan akhir yang dikirim ke Departemen Luar Negeri. Setelah itu, ia mengaku disingkirkan dari proses peninjauan.
Fenzel, dalam tanggapannya kepada New York Times, tetap membela hasil timnya. Ia menyatakan bahwa penilaian akhir dibuat berdasarkan semua data yang tersedia.
Gabavics menilai kasus ini memperlihatkan keberpihakan Washington terhadap Israel yang sering ia saksikan saat bertugas. "Favoritisme selalu memihak Israel. Sementara Palestina hanya mendapat sedikit perhatian," tegasnya.
Ia menambahkan bahwa kematian Abu Akleh meninggalkan kesan paling mendalam dalam kariernya. Ini karena, menurutnya, semua bukti sudah ada di depan mata. (I-2)


















































