
MENJELANG peringatan Hari Kebaya Nasional yang jatuh pada 24 Juli, kita diingatkan kembali akan pentingnya melestarikan kebaya sebagai warisan budaya bangsa dan simbol perjuangan perempuan Indonesia. Penetapan Hari Kebaya Nasional ini berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2023, sebagai wujud penghormatan terhadap kebaya yang kaya akan nilai historis,
filosofis, dan identitas perempuan Indonesia.
Hal tersebut dikemukakan tokoh perempuan Indonesia Giwo Rubianto dalam keterangannya,Selasa ( 15/7). Ketua Umum Kowani Pusat dua periode 2014-2019 dan 2019-2024 ini mengingatkan tanggal 24 Juli dipilih karena merujuk pada momen bersejarah Kongres Perempuan Indonesia ke-X yang berlangsung di Istora Senayan,61 tahun lalu. Saat itu, Presiden Soekarno menyampaikan bahwa Revolusi Indonesia tidak dapat berjalan tanpa keterlibatan perempuan.
"Dalam kongres tersebut, seluruh peserta perempuan mengenakan kain kebaya, menegaskan bahwa kebaya telah menjadi bagian tak terpisahkan dari gerakan perempuan dan perjuangan bangsa," ungkap Giwo Rubianto. Sebagai tindak lanjut dari Keppres tersebut, Kowani (Kongres Wanita Indonesia) yang saat itu dipimpin dirinya pro aktif menjadi pelopor dalam menyelenggarakan peringatan Hari Kebaya Nasional pertama pada 24 Juli 2024 di tempat yang sama, yakni Istora Senayan.
Acara bersejarah ini mengangkat tema “Lestarikan Kebaya, dengan Bangga Berkebaya”, dan berhasil mengumpulkan 9.250 perempuan dari berbagai penjuru tanah air, semuanya tampil anggun dalam balutan kebaya dari beragam daerah yang merepresentasikan keberagaman budaya Indonesia.
"Kini, menjelang peringatan tahun kedua Hari Kebaya Nasional, kita mengingat kembali momen kebersamaan dan semangat yang luar biasa dalam peringatan pertama tersebut, sebuah peristiwa yang tidak hanya menampilkan kekuatan visual perempuan Indonesia dalam berkebaya, tetapi juga menghidupkan kembali semangat Kongres Perempuan Indonesia 61 tahun yang lalu,"papar Giwo Rubianto yang pernah menjabat Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) periode 2004-2007.
Menurut Giwo, dihadiri langsung oleh Presiden RI pada masa itu, Joko Widodo, Ibu Negara Iriana Joko Widodo, para menteri, duta besar, dan tokoh-tokoh perempuan nasional, peringatan ini menjadi tonggak penting dalam menggaungkan kembali nilai historis perjuangan perempuan dan filosofi kebaya sebagai simbol kebudayaan dan persatuan bangsa.
Lebih dari itu, lanjut Giwo, yang juga menjabat sebagai Vice President International Council of Women (ICW) bahwa kebaya telah resmi diakui sebagai Warisan Budaya Takbenda oleh UNESCO, hasil kolaborasi lima negara: Indonesia, Brunei Darussalam, Malaysia, Singapura, dan Thailand.
"Pengakuan ini tidak hanya membanggakan juga membuka ruang baru untuk kolaborasi lintas negara, memperkuat peran perempuan dalam membangun kawasan Asia Tenggara yang harmonis dan berbudaya," tegasnya.
Oleh karena itu, lanjut dia, mari kita hidupkan kembali semangat berkebaya tidak hanya pada peringatan tahunan, tetapi juga melalui gerakan rutin seperti “Selasa Berkebaya”, sebuah upaya konkret untuk menjadikan kebaya bagian dari kehidupan sehari-hari.
"Dengan mengenakan kebaya, kita tidak hanya menjaga warisan budaya, tetapi juga menyuarakan kebanggaan, kemandirian, dan jati diri perempuan Indonesia di tengah dunia modern yang terus berubah," pungkas Giwo Rubianto.
Kendati telah purna tugas dari Kowani Pusat,Giwo terus berkiprah memajukan dunia perempuan Indonesia. Di level nasional, Giwo masih menjabat sebagai Ketua Umum Pita Putih Indonesia (PPI) yang merupakan bagian dari Global White Ribbon Alliance yang berpusat di Washington DC (namun saat ini di London UK). Juga aktif di Berkarya Pengusaha Wanita (BPW) Jakarta yang merupakan afiliasi dari BPW Internasional yang berpusat di Geneva, Switzerland, serta Ketua Umum Gerakan Wanita Sejahtera (GWS).
Giwo juga aktif di Dewan Penasihat di FKPPI (Forum Komunikasi Putra Putri Purnawirawan dan Putra Putri TNI Polri), Perhimpunan Saudagar Muslimah (PERSAMI), Perkumpulan Wanita Pejuang (PWP) ’45,dan lain lain.(H-2)