TKD Dipotong, Gubernur Dirongrong

1 day ago 3
TKD Dipotong, Gubernur Dirongrong Hamim Pou, Mantan Kepala Daerah, Inisiator Nusa Strategika Institute(Istimewa)

PAGI itu, halaman Kementerian Keuangan terasa berbeda. Satu per satu gubernur memasuki gedung, membawa berkas tebal berisi angka dan catatan dari daerah. Di meja penerima tamu tampak raut serupa: kekhawatiran yang ditahan oleh tata krama. Bukan perdebatan istilah yang dibawa melainkan realitas, apabila Transfer ke Daerah (TKD) 2026 dipangkas, yang goyah tidak hanya neraca, melainkan layanan dasar yang menyentuh warga di kampung-kampung. Ada yang berbisik lirih tentang puskesmas tanpa perawat cukup, kelas sekolah yang menunggu diperbaiki, jalan tani yang tidak kunjung diaspal, dan air bersih yang belum stabil. Di ruang rapat itu, angka bertemu wajah rakyat.

Gelombang protes 18 gubernur atas rencana pemangkasan TKD 2026 menyibak kecenderungan satu dekade terakhir, desentralisasi kian menipis, sentralisasi pelan-pelan menguat. Bukan semata karena tekanan fiskal melainkan karena relasi pusat-daerah kerap dipraktikkan sebagai hubungan administratif bukan kemitraan strategis. Kepatuhan ditekankan, namun ruang kreasi menyempit; laporan dipercepat tetapi pembelajaran lapangan kerap tertinggal.

Dalam tata kelola, Undang-Undang Pemerintahan Daerah (UU No 23/2014) memberikan arsitektur urusan: absolut, konkuren, dan pilihan. Di dalamnya, Standar Pelayanan Minimal (SPM) menjadi pagar mutu untuk memastikan layanan dasar terpenuhi. Gubernur juga diposisikan sebagai wakil pemerintah pusat di daerah, dengan fungsi pembinaan dan pengawasan atas kabupaten/kota. Desain ini penting sebagai jangkar kepentingan nasional. Namun, ketika penerjemahan SPM dan pembinaan berubah menjadi serangkaian pedoman terlalu rinci, elastisitas otonomi menyusut. Kepala daerah tetap memikul akuntabilitas politik atas janji kampanye tetapi perangkat fiskal dan ruang penataan program sering terikat prosedur yang kaku.

Di sisi keuangan, Undang-Undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU No 1/2022) menata ulang pajak dan retribusi daerah, mengatur kembali struktur transfer (DAU, DBH, DAK, dan insentif fiskal) serta menegaskan prinsip keadilan, efisiensi, dan kinerja. Rumus DAU bertumpu pada celah fiskal (kebutuhan fiskal dikurangi kapasitas fiskal), DBH mengalir mengikuti sumber daya yang dieksploitasi sementara DAK mengikat prioritas tertentu. Kerangka ini memberi kepastian sekaligus risiko: daerah non-SDA dengan PAD tipis berisiko tertinggal bila instrumen equalisasi kurang kuat; daerah SDA relatif terlindungi DBH. Ketika porsi transfer tertuju (earmarked) kian besar, fleksibilitas merancang program yang benar-benar menjawab problem lokal menjadi terbatas.

Roh Keseimbangan

Dalam konteks itulah wajar jika penyesuaian TKD untuk 2026 memunculkan kegelisahan. Sejumlah daerah menoleh ke skema pembiayaan seperti Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) Daerah. Tahun pertama mungkin ringan tetapi periode berikutnya menuntut kewajiban bunga tidak kecil. Tanpa disiplin pemilihan proyek yang produktif, beban fiskal berpotensi ditumpuk kepada periode pemerintahan berikutnya, mengubah solusi jangka pendek menjadi masalah jangka menengah.

Tekanan terbesar justru berada di garis depan. Bupati dan wali kota berhadapan langsung dengan antrean puskesmas, ruang kelas yang bocor, jalan tani yang patah, dan administrasi layanan yang lambat. TKD yang serba diarahkan menambah paradoks, warga menagih janji kampanye, sementara ruang manuver fiskal menyempit. Karena itu, desain transfer perlu menjaga keseimbangan: SPM harus terlindungi tetapi sebagian porsi block grant diperlukan agar kebutuhan riil setempat dan visi pembangunan daerah memiliki ruang bernapas.

Keseimbangan itulah rohnya. UU Pemda menegaskan urusan dan mutu layanan; UU HKPD menyediakan mesin fiskalnya. Sinergi keduanya menuntut tiga koreksi. Pertama, penguatan fungsi equalization bagi daerah non-SDA dan ber-PAD rendah agar kesenjangan layanan dapat dipersempit, ini sejalan dengan semangat keadilan fiskal dalam UU HKPD. Kedua, penetapan porsi transfer yang tidak diikat (block grant) pada tingkat wajar sehingga kepala daerah mampu menerjemahkan SPM ke inovasi program sesuai konteks lokal, sebuah pengakuan keseragaman prosedur tidak selalu identik dengan efektivitas. Ketiga, ring-fencing untuk belanja inti, pendidikan, kesehatan, air bersih, layanan publik, agar tidak diganggu penyesuaian jangka pendek berulang.

Pada saat bersamaan, kepemimpinan daerah dituntut berkeringat dan berhemat. Pendapatan Asli Daerah perlu diperkuat melalui pembaruan basis data objek pajak, simplifikasi dan digitalisasi proses pemungutan serta perizinan yang ramah usaha agar basis pajak tumbuh karena kegiatan ekonomi yang sehat. Belanja seremonial dipangkas, protokoler disederhanakan, perjalanan dinas dibatasi, pengangkatan tenaga honor dilakukan dengan perencanaan, dan pos-pos tanpa manfaat langsung bagi warga dikurangi. Anggaran diarahkan ke program yang berdampak, pendidikan, kesehatan primer, air bersih, layanan administrasi digital, penciptaan kerja, akses jalan produksi pertanian dan perikanan, serta penguatan modal kerja generasi muda.

Teladan Efisiensi

Integritas menjadi prasyarat. KKN harus diperangi dengan penguatan pengadaan transparan, pembukaan data kontrak, pelibatan pengawasan internal independen, serta kanal pengaduan publik yang ditindaklanjuti dalam tenggat jelas. Uang pusat dan uang daerah pada hakikatnya adalah uang rakyat; tanpa kepercayaan publik, otonomi hanya tinggal jargon.

Teladan efisiensi dari pemerintah pusat mutlak diperlukan. Pemangkasan pos-pos tidak produktif mesti berjalan beriring dengan upaya memperbaiki desain TKD. Mekanisme advokasi lintas kementerian/lembaga lebih efektif bila disederhanakan ke satu pintu koordinasi sehingga hambatan regulasi atau anggaran dapat ditembus tanpa melahirkan biaya koordinasi baru di daerah.

Terkait pembiayaan daerah, kedisiplinan perlu dijaga. Skema seperti PEN Daerah seyogianya difokuskan pada proyek yang memiliki nilai tambah ekonomi sosial jelas dengan studi kelayakan memadai. Restrukturisasi perlu dibuka sebagai opsi bila arus kas daerah tidak mampu memenuhi kewajiban agar risiko gagal bayar dapat dihindari. Praktik mark up dan proyek mercusuar yang tidak layak harus dihentikan.

Kesimpulannya, pemangkasan TKD hendaknya dibaca sebagai peringatan untuk memperbaiki arsitektur kepercayaan pusat-daerah. Desain fiskal yang adil dan fleksibel, penguatan equalization bagi non-SDA/PAD rendah, porsi block grant yang wajar, serta perlindungan belanja inti, perlu berjalan beriringan dengan kepemimpinan daerah efisien dan berintegritas. Dengan penguatan pelaksanaan UU Pemda (urusan & SPM) dan UU HKPD (hubungan fiskal & prinsip keadilan-kinerja), transfer tidak lagi sekadar alat kontrol melainkan pengungkit layanan. Di atas fondasi itu, warga merasakan manfaat nyata dan kesenjangan antardaerah dapat dipersempit.

Usai pertemuan di Kementerian Keuangan, bayangan kembali ke sebuah sore di desa. Seorang gubernur berdiri di depan balai, mengajukan pertanyaan paling sederhana kepada para ibu dan pemuda: “Apakah anggaran yang diperjuangkan hari ini sudah terasa di sini?” Pertanyaan yang menembus protokol itu merangkum harapan besar: agar TKD tidak berhenti sebagai angka di neraca melainkan mengalir menjadi puskesmas yang siaga, sekolah layak, jalan tani yang membuka pasar, dan air bersih yang mengangkat martabat. Apabila pusat dan daerah saling percaya, otonomi tidak akan pudar; ia kembali pada makna asalnya, memuliakan warga, menguatkan daerah, dan meneguhkan persatuan Indonesia. (E-3)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |