
TIGA lembaga swadaya masyarakat (LSM) di Bekasi, Yogyakarta, dan Kalimantan membuktikan bahwa solusi iklim yang transformatif justru lahir dari pinggiran, jauh dari panggung konferensi megah. Hal ini setelah Indonesia Sustainability Forum (ISF) ketiga menutup rangkaian diskusi investasi hijau senilai miliaran dolar AS pada 10-11 Oktober 2025 di Jakarta.
Yakkum Emergency Unit (YEU) di Gunung Kidul mengubah takdir kekeringan menjadi ladang hijau dengan sistem penampungan air hujan berteknologi IoT. Alam Sehat Lestari (Asri) di Kalimantan Barat memulihkan ratusan hektare hutan dengan menukar bibit pohon sebagai pembayaran berobat. Sementara Gringgo Indonesia di Bekasi mengonversi lumpur tinja menjadi briket bahan bakar bersih bernama Biocore.
Ketiga inovasi menunjukkan bahwa berkelanjutan bukan hanya soal investasi besar dan teknologi canggih, melainkan tentang imajinasi yang berani membayangkan ulang relasi manusia dengan alam. Ini sesuatu yang jarang mendapat tempat dalam skema pembiayaan iklim konvensional.
Ladang gersang
Di Dusun Temon, Kabupaten Gunung Kidul, kekeringan panjang memaksa petani meninggalkan tanah mereka untuk menjadi buruh bangunan di kota. YEU bersama kelompok tani setempat membangun enam tandon besar di puncak bukit yang menampung ribuan liter air hujan setiap musim.
Sistem sprinkler sederhana dengan sensor IoT dan panel surya menyalurkan air ke ladang tanpa pompa listrik. "Kalau tidak ada air, hidup berhenti," kenang seorang warga.
Ladang yang dulu gersang kini menghijau sepanjang tahun. Panen meningkat dan anak muda pun kembali bertani.
Bayar dengan bibit
Sejak 2007, Asri menjalankan program revolusioner di sekitar Taman Nasional Gunung Palung. Masyarakat bisa berobat dengan membayar menggunakan bibit pohon atau mendapat diskon besar jika terus menjaga hutan. Program ini menjawab masalah ganda yaitu akses kesehatan mahal yang memicu penebangan liar dan degradasi hutan tropis.
Lebih dari satu dekade kemudian, penebangan ilegal turun signifikan, ratusan hektare hutan pulih, dan puluhan spesies kembali ke habitatnya. "Dulu kami menebang untuk hidup. Sekarang kami menanam untuk masa depan anak kami," ujar seorang warga.
Lumpur tinja
Gringgo Indonesia di Bekasi membuktikan bahwa bahkan limbah paling tabu sekalipun bisa menjadi solusi. Mereka mengubah lumpur tinja menjadi briket Biocore, bahan bakar dengan emisi karbon lebih rendah dari batu bara dan kayu. Dipantau dengan sensor IoT untuk kontrol suhu dan tekanan, pabrik mini ini ditempatkan dekat instalasi pengolahan limbah untuk efisiensi logistik.
"Masalahnya bukan di teknologi, tetapi di cara kita memandang kotoran. Kalau cara pandang bisa diubah, nilainya ikut berubah," kata Febriadi Pratama, salah satu pendiri Gringgo Indonesia.
Investasi hijau
Pemerintah Indonesia menargetkan investasi hijau US$200 miliar hingga 2030 dan aktif mengundang dunia usaha, filantropi, serta family office dalam ISF. Namun, menurut pendiri Impact Playground dan mahasiswa magister di Indiana University Lilly Family School of Philanthropy, Juara Elyas, peran filantropi seharusnya lebih dari sekadar menambah nominal komitmen.
"Dengan karakter pembiayaan yang fleksibel, filantropi dapat memperkuat imajinasi perubahan dan menyalakan percikan di tempat yang belum dijangkau pasar, membiayai risiko yang terlalu kecil untuk investasi hijau, tetapi terlalu besar untuk diabaikan," tulis Elyas dalam analisisnya.
ISF tahun lalu menghasilkan 12 kesepakatan termasuk ekspor 3,4 gigawatt energi terbarukan ke Singapura senilai US$25-US$30 juta. Namun sementara forum-forum megah membahas investasi hijau, pembiayaan campuran, dan kolaborasi lintas sektor, imajinasi aksi iklim sejati justru tumbuh hening di pinggiran – dari hujan, hutan, dan bahkan tinja. (I-2)