Bendera Palestina.(Al Jazeera)
SEJUMLAH tentara Israel yang dihukum karena menyiksa dan melakukan kekerasan seksual terhadap seorang tahanan Palestina di penjara Sde Teiman secara terbuka membela tindakan mereka dan menuntut pengakuan atas sesuatu yang mereka sebut sebagai pengorbanan.
Dalam konferensi pers di luar Mahkamah Agung Yerusalem Barat pada Senin (3/11), para tentara muncul dengan wajah tertutup topeng hitam untuk menyembunyikan identitas mereka.
"Saya berdiri di sini karena lelah dengan kebisuan. Alih-alih penghargaan, kami menerima tuduhan, alih-alih ucapan terima kasih, yang ada hanyalah kebisuan," kata salah satu tentara yang diidentifikasi sebagai A oleh Channel 7 Israel.
Ia menambahkan bahwa mereka tidak diberi kesempatan untuk membela diri dan merasa telah dijadikan sasaran dalam persidangan sandiwara.
"Kami tidak akan tinggal diam. Kami akan terus berjuang untuk keadilan dan keluarga kami. Kalian mungkin mencoba menghancurkan kami, tetapi kalian lupa bahwa kami adalah kekuatan seratus orang," katanya dengan nada menantang.
Kasus penyiksaan itu bermula pada Juli 2024, ketika seorang tahanan asal Gaza mengalami kekerasan brutal di pusat penahanan militer Sde Teiman, Israel selatan. Korban dilaporkan mengalami luka parah dan robekan internal pada bagian rektum.
Pada hari yang sama, Pengadilan Tel Aviv memperpanjang penahanan mantan jaksa militer Yifat Tomer-Yerushalmi selama tiga hari.
Dia dituduh mengizinkan perilisan video penyiksaan tersebut yang memicu kecaman internasional. Tomer-Yerushalmi mengundurkan diri beberapa hari sebelumnya. Tindakannya dilakukan untuk melawan propaganda palsu terhadap lembaga penegak hukum militer.
Surat kabar Haaretz melaporkan bahwa tahanan korban penyiksaan telah dibebaskan dan dikembalikan ke Gaza pada Oktober, meskipun belum ada konfirmasi dari Hamas atau organisasi tahanan Palestina.
Organisasi hak asasi manusia di Palestina dan Israel mencatat bahwa lebih dari 10.000 warga Palestina masih ditahan di penjara-penjara Israel, termasuk perempuan dan anak-anak. Laporan penyiksaan, kelaparan, serta pengabaian medis menyebabkan banyak kematian.
Jurnalis Israel Yoana Gonen menulis dalam Haaretz bahwa para tentara tersebut kini diperlakukan sebagai pahlawan, padahal mereka mencerminkan wajah Israel masa kini.
Dalam artikelnya berjudul Apa yang sebenarnya kami inginkan? Menyiksa secara diam-diam tanpa diketahui dunia dan membuat kami tidak nyaman, Gonen menyebut kebocoran video itu sebagai serangan propaganda paling serius terhadap Israel sejak berdirinya. Ia menegaskan bahwa negara lebih sibuk menutupi kejahatan perang ketimbang menegakkan hukum.
Sejak Oktober 2023, serangan Israel di Gaza menewaskan hampir 69.000 orang, sebagian besar perempuan dan anak-anak, serta melukai lebih dari 170.000 lain, menurut laporan lembaga kemanusiaan di wilayah tersebut. (Anadolu/I-2)


















































